Dampak
dari penyelenggaraan pemerintahan yang tidak transparan
TAHUN
PELAJARAN
2011/2012
Mata pelajaran :
Pendidikan Kewarganegaraan
Kelas :
XI ( Sebelas )
Program Keahlian :
Teknik Pemesinan
Kelompok : 4 ( Empat )
Dibina Oleh :
Drs. Sujiono
Disusun Oleh :
1.
M. Affandi (22)
2.
M. Hari .S (23)
3.
M. Imam Syafi’i (24)
4.
Nizar Maulana (25)
5.
Revi Sanjaya (26)
6.
Riski July D (27)
7.
Rozikan
A.S (28)
SMK MUHAMMADIYAH 1 KEPANJEN
TERAKREDITASI “A”
Jl. KH. Ahmad Dahlan No. 34 Telp. 0341 – 395451, 399269
Fax. 0341 – 398768
KEPANJEN KABUPATEN MALANG
KATA
PENGANTAR
Dengan memanjatkan puja dan puji syukur
atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan limpahan rahmat dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “DAMPAK
DARI PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN YANG TIDAK TRANSPARAN”.
Kami selaku penyusun
makalah ini mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak-pihak yang telah
membantu Saya dalam menyelesaikan makalah ini,
1. Bapak Drs. Sujiono yang
telah menuntun cara-cara membuat dan menyusun makalah ini.
2. Teman-teman yang telah
membantu menyelesaikan makalah ini.
Penyusun makalah ini
menyadari bahwa makalah ini sangatlah kurang dari sempurna. Maka dari itu,
penyusun mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi sempurnanya
makalah ini.
Semoga makalah ini dapat
berguna bagi generasi siswa dan siswi SMK Muhammadiyah 1 Kepanjen juga para generasi muda serta bagi pembaca
pada umumnya.
Malang, 22 Oktober
2011
Tim penyusun
i
DAFTAR
ISI
halaman
1). KATA PENGANTAR ………………………………………………… i
2). DAFTAR ISI .…..……….……….……….............................................. ii
3). BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………… 6
3.1 Latar Belakang Masalah ……………..…………….…………….. 6
3.2 Tujuan Pembahasan Masalah ……………….………………...… 12
3.2.1 Ingin mengetahui karakteristik
pemerintahan yang
tidak
transparan ………………………...……………........ 12
3.2.2 Ingin mengetahui akibat dari
penyelenggaraan
pemerintahan
yang tidak transparan ................................. 12
3.2.3 Ingin Mengetahui upaya pencegahan
terhadap
penyelenggaraan pemerintahan yang tidak
transparan
............................................................................. 12
3.2.4
Ingin mengetahui kondisi dalam bidang politik dan
hukum pemerintahan yang tidak transparan …................ 12
ii
3.2.5 Ingin mengetahui penyelenggaraan pemerintahan
yang tidak transparan …………………………………..... 12
3.3 Tinjauan Teoritis Masalah………………………..……………... 13
4). BAB II Pembahasan Masalah
……………………………………….. 24
4.1 Karakteristik pemerintahan yang tidak transparan .................. 24
4.2 Akibat dari penyelenggaraan pemerintahan
yang tidak
transparan ………………………………………………………. 27
4.3 Upaya pencegahan terhadap
penyelenggaraan pemerintahan
yang
tidak transparan ………………......................................... 39
4.4 Kondisi dalam bidang politik dan hukum pemerintahan
yang tidak transparan ………………………………………….. 41
4.5 Penyelenggaraan pemerintahan yang tidak transparan …..… 47
5). BAB III Penutup ……………………………………………………. 55
5.1 Kritik dan Saran
…………….…..………..……………………. 55
5.1.1 Kritik …………………………………………………….. 55
5.1.2 Saran …………………………………………………….. 55
5.2 Kesimpulan ……………………………………………………... 56
ii
6). Daftar Kepustakaan ………….…...…………………………………. iii
7). Daftar Lampiran……………………………………………... Iv
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Informasi
merupakan salah satu bagian yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat di
dunia saat ini, terlebih jika kita tinggal dalam suatu negara demokrasi yang
mengenal adanya pengakuan terhadap kebebasan dalam memperoleh informasi bagi
rakyatnya. Tertutupnya kebebasan dalam memperoleh informasi dapat berdampak
pada banyak hal seperti rendahnya tingkat pengetahuan dan wawasan warga negara
yang pada akhirnya juga berdampak pada rendahnya kualitas hidup suatu bangsa.
Sementara itu dari segi penyelenggaraan pemerintahan, tidak adanya informasi
yang dapat diakses oleh publik dapat berakibat pada lahirnya pemerintahan yang
otoriter dan tidak demokratis.
Pada
dasarnya, pemerintahan di negara-negara demokrasi telah menyadari bahwa
terciptanya keterbukaan dalam memperoleh informasi bagi publik dapat memberikan
dampak positif bagi kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan hukum di negaranya.
Keterbukaan informasi dalam penyelenggaraan pemerintahan juga merupakan salah
satu wujud komitmen pemerintah dalam melaksanakan prinsip-prinsip good
governance dan demokratisasi pemerintahan, di mana salah satu butir di antara
butir-butir good governance adalah adanya keterbukaan pemerintah (transparency)
kepada masyarakat.
Keterbukaan
akses informasi bagi publik di sisi lain juga dapat menjadi salah satu alat
penunjang kontrol masyarakat atas kinerja pemerintah ataupun unit-unit
kerjanya. Dalam konteks bidang keamanan dan pertahanan, setiap negara demokrasi
juga membuka ruang-ruang tersedianya informasi yang dapat diakses masyarakat.
Hal ini dimaksudkan agar hak-hak warga negara tetap terjaga dan tidak
terenggut. Di samping itu, adanya keterbukaan memperoleh informasi juga dapat
menjadikan aktor pertahanan menjadi lebih profesional selalu bertindak dengan
berdasarkan hukum.
Sebagai
sebuah negara yang demokratis, Indonesia juga tentunya harus tetap memandang
bahwa kebebasan memperoleh informasi bagi publik merupakan suatu hal yang pada
dasarnya harus tetap dijaga. Adapun terkait beberapa hal yang sifatnya
"rahasia" di mana di dalamnya terdapat hal-hal yang sensitif terutama
menyangkut persoalan kedaulatan negara haruslah dapat didefinisikan dengan
jelas dan tetap mengacu pada Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik.
Selama
masa pemerintahan Orde Baru, keterbukaan untuk memperoleh informasi sangat
dibatasi pemerintah. Bahkan, beberapa media yang sangat kritis dan lugas dalam
menyajikan informasi dengan sangat mudah dibekukan pemerintah. Dengan alasan
kerahasiaan, pemerintah Orde Baru banyak mengotrol berbagai informasi yang akan
keluar dan diterima masyarakat sehingga sangat wajar apabila informasi yang
akan disajikan media harus melewati pengawasan yang ketat. Hal ini tentunya
dimaksudkan agar tidak terjadi gejolak perlawanan di dalam masyarakat.
Tertutupnya
pintu untuk memperoleh informasi juga sangat berdampak negatif pada lemahnya
jaminan kepastian hukum dan perlindungan HAM bagi masyarakat, pemerintahan pun
pada akhirnya menjadi pemerintahan yang otoriter sehingga sangat wajar apabila
berbagai kalangan berpendapat bahwa pada masa Orde Baru banyak sekali
terjadi kasus penculikan
aktivis yang sangat vokal mengkritisi kebijakan pemerintah. Dengan
mengatasnamakan keamanan dan rahasia negara, pemerintah Orde Baru juga telah
menafsirkan sifat kerahasiaan negara demi kepentingan dan keberlangsungan
kekuasaannya sehingga mengakibatkan banyak pihak yang menjadi khawatir dengan
setiap tindakan dan ucapan mereka karena selalu diintai.
Sifat
rahasia negara yang ditafsirkan dan diimplementasikan oleh pemerintahan Orde
Baru untuk menghalang-halangi kebebasan memperoleh informasi, pada dasarnya
juga menyeret aktor pertahanan dan keamanan pada posisi yang tidak profesional
sehingga ketika kita berbicara mengenai rahasia negara dan kebebasan memperoleh
informasi, pada saat ini, tidak akan terlepas pula dari proses reformasi di
bidang pertahanan dan keamanan.
Jatuhnya
tampuk kekuasaan Orde Baru telah membuka harapan bagi kehidupan bernegara yang
lebih demokratis, dan keterbukaan pemerintah terhadap masyarakat menjadi salah
satu tuntutan dalam agenda perjuangan reformasi. Keterbukaan pemerintah kepada
masyarakat merupakan suatu hal yang memang sudah selayaknya dilakukan sejak
dahulu sebab Indonesia adalah negara yang menganut sistem demokrasi, sebuah
negara demokrasi yang lahir dari kedaulatan rakyat sehingga kedaulatan
sepenuhnya berada di tangan rakyat. Oleh karena itu, pemerintah wajib bersikap
transparan kepada rakyatnya.
Negara
Indonesia yang ingin mensejahterakan seluruh rakyat perlu mengimplementasikan
formulasi pembentukan negara dalam kosepnya yang terkenal Kontrak Sosial (Du
Contract social ou principes du droit politique) yang dibuat pada tahun 1762
oleh Jean Jacques Rousseau (1712-1778). Rousseau melihat hubungan individu dengan
negara haruslah didasari pada sebuah kesepakatan untuk bernegara sesuai dengan
tujuan yang dicita-citakan bersama. Kesepakatan yang penting harus dipenuhi
adalah tentang hak dan kewajiban.
Dalam
uraiannya, Rousseau menekankan pentingnya istilah volente generale (kehendak
umum) yang merupakan cikal bakal lahirmya masyarakat sipil. Sebuah negara
haruslah didasarkan pada kesepakatan umum yang jika dilanggar akan
mengakibatkan ketidakadilan. Konsep ketidakadilan, dengan sendirinya
membubarkan kesepakatan umum dan juga kontrak sosial.
Konstitusi
(UUD) pada hekakatnya merupakan kontrak sosial dalam kehidupan bernegara. Pasal
28 F pada prinsipnya memberikan hak pada setiap orang untuk berkomunikasi dan
memperoleh informasi. Hak tersebut selain diatur dalam pasal tersebut, juga
jauh sebelumnya sudah ditetapkan PBB melalui resolusi 59 ayat 1 Tahun 1946 dan
Internasional Cevenant on Civil and Political Rights 1966 Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia PBB pasal 19 yang menegaskan bahwa hak atas informasi
merupakan hak asasi dan hak konstitusional sehingga wajib dilindungi oleh
negara.
Dunia
sekarang sudah memasuki Era Informasi, dimana informasi adalah kekuasaan
("from brown to brain"). Telah terjadi suatu Powershift, kata Alvin
Toffler. Era informasi ini sejalan dengan demokratisasi, pengurangan dominasi
pemerintah, pemajuan
Hak
atas informasi tersebut meliputi : (1). Hak publik untuk memantau atau
mengamati perilaku pejabat publik dalam menjalankan fungsi publiknya (right to
observe); (2). Hak publik untuk mendapatkan/mengakses informasi (public access
to information); (3). Hak publik untuk berpartisipasi dalam proses pembentukan
kebijakan (right to participate); (4). Kebebasan berekspresi yang salah satunya
diwujudkan kebebasan pers (free and responsible pers); (5). Hak publik untuk
mengajukan keberatan apabila hak-hak di atas diabaikan (right to appeal) baik
melalui administrasi maupun adjudikasi (menggunakan sarana pengadilan semu,
arbitrasi maupun pengadilan.
Selain
itu keterbukaan informasi memberi peluang rakyat untuk berpartisipasi dalam
berbagai kebijakan publik. Rakyat yang well - informed akan menjadi kekuatan
dan actor dalam proses penentuan dan pengawasan kebijakan publik. Hak itu
didasarkan pada pemikiran dan Pengalaman empirik bahwa : (1) Publik yang lebih
banyak mendapat informasi dapat berpartisipasi lebih baik dalam proses
demokrasi; (2) Parlemen, pers dan publik harus dapat dengan wajar mengikuti dan
meneliti tindakan- tindakan pemerintah; kerahasiaan adalah hambatan terbesar
pada pertanggung jawaban pemerintah; (3) Pegawai pemerintahan mengambil
keputusan-keputusan penting yang berdampak pada kepentingan publik; dan agar
bertanggung jawab pemerintah harus menyediakan informasi yang lengkap mengenai
apa yang dikerjakan; (4) Arus informasi yang lebih baik menghasilkan
pemerintahan yang efektif dan membantu pengembangan yang lebih fleksibel; (5)
Kerjasama antara publik dan pemerintah akan semakin erat karena informasi yang
semakin banyak tersedia.
Informasi
dapat digambarkan sebagai oksigen dalam suatu negara demokrasi. Negara
Demokrasi terkait dengan pertanggungjawaban dan tata pemerintahan yang baik.
Rakyat diharapkan dapat berpartisipasi aktif dalam penyelenggaraan negara, oleh
karena itu pemberian hak kepada rakyat atas informasi merupakan tiang penyangga
yang penting bagi demokrasi.
Kepentingan umum, misi organisasi publik
Untuk
menilai kinerja organisasi ini tentu saja diperlukan indikator-indikator atau
kriteria-kriteria untuk mengukurnya secara jelas. Tanpa indikator dan kriteria
yang jelas tidak akan ada arah yang dapat digunakan untuk menentukan mana yang
relatif lebih efektif diantara : alternatif alokasi sumber daya yang berbeda;
alternatif desain-desain organisasi yang berbeda; dan diantara pilihan-pilihan
pendistribusian tugas dan wewenang yang berbeda (Bryson, 2002). Sekarang
permasalahannya adalah kriteria apa yang digunakan untuk menilai organisasi.
Sebagai
sebuah pedoman, dalam menilai kinerja organisasi harus dikembalikan pada tujuan
atau alasan dibentuknya suatu organisasi. Misalnya, untuk sebuah organisasi
privat/swasta yang bertujuan untuk menghasilkan keuntungan dan barang yang
dihasilkan, maka ukuran kinerjanya adalah seberapa besar organisasi tersebut
mampu
1.2
Tujuan Pembahasan Masalah
1.2.1
Ingin
mengetahui karakteristik pemerintahan yang tidak transparan (tertutup)
1.2.2
Ingin
mengetahui akibat dari penyelenggaraan pemerintahan yang tidak transparan
1.2.3
Ingin mengetahui
upaya pencegahan terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang tidak transparan
1.2.4 Ingin mengetahui kondisi dalam bidang politik dan hukum
pemerintahan yang tidak transparan
1.2.5
Ingin
mengetahui penyelenggaraan pemerintahan yang tidak transparan
1.3 Tinjauan Teoritis Masalah
- Pengertian Pemerintah dan Pemerintahan
Istilah
pemerintah (Government) dapat dibedakan dengan pemerintahan (governing). Dalam
Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata Pemerintah berarti Lembaga atau orang yang
bertugas mengatur dan memajukan Negara dengan rakyatnya. Sedangkan Pemerintahan
adalah hal cara, hasil kerja memerintah, mengatur Negara dengan rakyatnya. Pemerintah
dalam arti organ merupakan alat kelengkapan pemerintahan yang melaksanakan
fungsi Negara. Dalam organ, pemerintah dapat dibedakan baik dalam arti luas
maupun dalam arti sempit.
Adalah suatu pemerintah yang berdaulat sebagai gabungan semua badan atau lembaga kenegaraan yang berkuasa dan memerintah di wilayah suatu Negara meliputi badan eksukutif, legislative, dan yudikatif
Adalah suatu pemerintah yang berdaulat sebagai gabungan semua badan atau lembaga kenegaraan yang berkuasa dan memerintah di wilayah suatu Negara meliputi badan eksukutif, legislative, dan yudikatif
Adalah suatu
pemerintah yang berdaulat sebagai badan atau lembaga yang mempunyai wewenang
melaksanakan kebijakan Negara (eksekutif) yang terdiri dari Presiden, wwkil
presiden, dan para menteri (kabinet)
Dewasa ini, sudah banyak
Negara yang meninggalkan pola penyelenggaraan pemerintah tradisional yang lebih
menekan perspektif hubungan yang bersifat “top-down” , atau pendekatan “aturan-aturan
rasional” (Rule-Central-rule Approach). pemerintahan sekarang mulai menyadari
pentingnya peran swasta dan masyarakat untuk secara bersama-sama mewujudkan
tujuan nasional secara kolaboratif, sehingga terjadi perubahan paradigma dimana
pola-pola yang dikembangkan lebih banyak “bottom-up” dan kemitraan. Untuk lebih
jelasnya perubahan paradigma dan pengaruhnya terhadap hubungan antara
pemerintah, swasta dan masyarakat dapat dilihta pada gambar dibawah ini:
Government Governance ( Sumarsono, Oktober 2007, Pendidikan Kewarganegaraan, Yudistira, Bogor )
Government Governance ( Sumarsono, Oktober 2007, Pendidikan Kewarganegaraan, Yudistira, Bogor )
2. Karakteristik Pemerintahan
Dalam masyarakat modern atau post-modern dewasa ini, pola pemerintahan
yang dapat dikembangkan sesuai dengan karakteristiknya masing-masing adalah
sebagai berikut:
a. Kompleksitas
Dalam menghadapi kondisi yang kompleks, pola penyelenggaraan pemerintahan
perlu ditekankan pada fungsi koordinasi dan komposisi
b. Dinamika
Dalam hal ini pola pemerintahan yang dapat dikembangkan adalah pengaturan
atau pengendalian (steering) dan kolaborasi (pola interaksi saling
mengendalikan diantara berbagai actor yang terlibat dan atau kepentingan dalam
bidang tertentu)
c. Keanekaragaman
Masyarakat dengan berbagai kepentingan yang beragam dapat diatasi dengan
pola penyelenggaraan pemerintahan yang menekankan pengaturan (regulation) dan
integrasi atau keterpaduan (integration)
Berdasarkan
hal-hal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa penyelenggaraan pemerintahan
(Governing) dapat dipandang sebagai “Intervensi prilaku politik dan social yang
berorientasi hasil, yang diarahkan untuk menciptakan pola interaksi yang stabil
atau dapat diprediksikan dalam suatu system (sosial-politik), sesuai dengan
harapan ataupun utjuan dari para pelaku intervensi tersebut”. ( Rahma, Oktober
2000, Pendidikan Kewarganegaraan, Pilar Daya Ratma, Solo )
3. Konsepsi Kepemerintahan (Governance)
Kepemerintahan atau Governance merupakan tindakan, fakta, pola kegiatan
atau penyelenggaraan pemerintahan. Menurut Kooiman, Kepemerintahan lebih
merupakan serangkaian proses interaksi social politik antara pemerintah dengan
masyarakat dalam berbagai bidang yang berkaitan dengan kepentingan masyrakat
dan intervensi pemerintahan atas kepentingan-kepentingan tersebut. Sedangkan
dalam pandangan Pinto, istilah “governance” mengandung arti : Praktek
penyelenggaraan kekuasaan dan kewenangan oleh pemerintah dalam pengelolaan
urusan pemerintahan secara umum, dan pembangunan ekonomi khususnya.
Kooiman
memandang sebagai sebuah struktur yang muncul dalam system sosial-politik yang
merupakan hasil dari tindakan intervensi interaktif diantara berbagai actor
yang telibat. Sesuai dengan karakteristik interaksi antara pemerintah dan
masyrakat yang cenderung bersifat plural, konsepsi tersebut tidak hanya
dibatasi pada salah satu unsure pelaku atau kelompok pelaku tertentu.
Sebagaiman dinyatakan Marin dan Mayntz, kepemerintahan politik dalam masyarakat
modern tidak bisa lagi dipandang sebagai pengendalian pemerintahan terhadap
masyarakat, tetapi muncul dari pluralitas pelaku penyelenggaraan pemerintahan. (
Sumardi Budi, Oktober 2006, Pendidikan Kewarganegaraan, Yudistira, Bogor )
4. Aktor dalam Kepemerintahan
Dalam penyelenggaraan kepemerintahan disuatu Negara, terdapat 3 (tiga)
omponen besar yang harus diperhatikan, karena peran dan fungsinya yang sangat berpengaruh
dalam menentukan maju mundurnya pengelolaan Negara, yaitu:
a. Negara dan Kepemerintahan
Yaitu merupakan keseluruha lembaga politik dan sector public. Peran dan
tanggungjawabnya adalah dibidang hukum, pelayanan public, desentralisasi,
transparansi umum dan Pemberdayaan masyrakat, penciptaan pasar yang kompetitif,
membangun lingkungan yang kondusif bagi tercapainya tujuan pembangunan baik
pada level local, nasional, maupun internasional.
b. Sector swasta
yaitu perusahaan swasta yang aktif dalam interaksi system pasar, sperti:
industri, perdagangan, perbankan, dan koperasi sector informal. Peranannya
adalah meningkatkan produktifitas, menyerapk tenaga kerja, mengembangkan sumber
penerimaan Negara, investasi, pengembangan dunia usaha, dan pertumbuhan ekonomi
nasional.
c. Masyarakat Madani
Kelompok
masyrakat yang berinteraksi secara social, politik dan ekonomi. Dalam konteks
kenegaraan, masyarakat merupakan subjek pemerintahan, pembangunan, dan pelayan
public yang berinteraksi secara social, politik dan ekonomi. Masyarakat harus
diberdayakan agar berperan aktif dalam medukung terwujudnya kepemerintahan yang
baik. ( Arifin Firmansyah, Juli 2000, Aktor dalam Kepemerintahan, Bogor )
5.
Kepemerintahan yang Baik (Good Governance)
a. Pengertian
Terminology “good”
dalam istilah good governance mengandung dua pengertian. Pertama: nilai-nilai
yang menjunjung tinggi keinginan/kehendak rakyat dan nilai-nilai yang dapat
meningkatkan kemampuan rakyat dalam pencapaian tujuan (nasional), kemadirian,
pembangunan berkelanjutan, dan keadilan social.
Kedua : aspek-aspek fungsional dari pemerintahan yang efektif dan efisien
dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.
Berdasarkan pengertian tersebut, kepemerintahan yang baik berorientasi
pada 2 (dua) hal, yaitu:
• Orientasi Ideal Negara
Yang diarahkan pada pencapaian tujuan nasional, yaitu mengacu pada
demoratis dengan elemen: legitimacy, accountability, otonomi dan devolusi
(pendelegasian wewenang) kekuasaan kepada daerah dan adanya mekanisme control
oleh masyarakat
• Pemerintahan yang Befungsi secara Ideal
Yaitu secara efektif dan efisien melakukan upaya pencapaian tujuan
nasional. Hal ini tergantung pada sejauh mana pemerintah memiliki kompetensi,
struktur dan mekanisme politik serta administrative yang berfungsi secara
efektif dan efisien.
Berikut ini adalah beberapa pendapat atau pandangan tentang wujud
kepemerintahan yang baik ( good governance), yaitu:
• World Bank (2000)
Good governance adalah suatu penyelenggaaan manajemen pemerintahan yang
solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi korupsi, baik
secara politik maupun administrative, menjalankan disiplin anggaran penciptaan
legal dan political framework bagi tumbuhnya aktifitas swasta.
• UNDP
Memberikan pengertian Good Governance sebagai suatu hubungan yang
sinergis dan konstruktif di antara Negara, sector swasta dan masyarakat
• Peraturan Pemerintah No. 101 Tahun 2000
Kepemerintahan yang baik adalah kepemerintahan yang mengembangkan dan
menerapkan prinsip-prinsip prifesionalitas, akuntabilitas, transparansi,
pelayanan prima, demokrasi, efisiensi, efektifitas, supremasi hukum dan dapat
diterima oleh seluruh masyrakat
• Modul Sosialisasi AKIP (LAN & BPKP 2000)
Good Governance merupakan proses penyelenggaraan kekuasaan Negara; oleh
sebab itu, melaksanakan penyediaan Public goods dan services. Good Governance
yang efektif menuntut adanya “alignment “ (koordinasi) yang baik dan
integritas, profesionalisme serta etos kerja dan moral yang tinggi. Agar
kepemerintahan yang baik menjadi realitas dan berhasil diwujudkan, diperlukan
komitmen dari semua pihak, pemerintah, dan masyrakat.
Dari beberapa pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa Good Governance bersenyawa dengan system administrative Negara, maka upaya untuk mewujudkan kepemerintahan yang baik merupakan upaya melakukan penyempurnaan system administrasi Negara yang berlaku pada suatu Negara secara menyeluruh. Dalam kaitan dengan ini Bagir Manan menyatakan bahwa “sangat wajar apabila tuntutan penyelenggaraan pemerintahan yang baik terutama ditujukan pada pembaruan administrasi Negara dan pembaruan penegakan hukum”
Hal ini dikemukakan karena dalam hubungan dengan pelayanan dan
perlindungan rakyat ada dua cabang pemerintahan yang berhubungan langsung
dengan rakyat, yaitu administrasi Negara dan penegak hukum.
c. Aspek-Aspek Good Governance
Dari sisi pemerintah (government), Good Governance dapat dilihat melalui
aspek-aspek sebagai berikut:
• Hukum/Kebijakan
Merupakan aspek yang ditujukan pada perlindungan kebebasan
• Administrative competence and transparency
Kemampuan membuat perencanaan dan melakukan implementasi secara efisien,
kemampuan melakukan penyederhanaan organisasi, penciptaan disiplin, dan model
administrative keterbukaan informamsi
• Desentralisasi
Desentralisasi regional dan dekonsentrasi di dalam departemen
• Penciptaan pasar yang Kompetitif
Penyempurnaan mekanisme pasar, peningkatan peran pengusaha kecil, dan
segmen lain dalam sector swasta, deregulasi dan kemampuan pemerintahan
melakukan control terhadap makro ekonomi
c. Karakteristik Kepemerintahan yang baik menurut UNDP (1997)
UNDP mengemukakan bahwa karakteristik atau prinsip-prinsipnya yang harus
dianut dan dikembangkan dalam praktek penyelenggaraan kepemerintahan yang baik,
mencakup:
1) Partisipasi (Participation)
Keikutsertaan amsyarakat dalam proses pembuatan keputusan, kebebasan
berserikatdan berpendapat, serta kebebasan untuk berpartisipasi secara
konstruktif
2) Aturan Hukum (rule of law)
Hukum harus adil tanpa pandang bulu, ditegakkan dan dipatuhi secara utuh
(impartially) terutama aturan hukum tentang hak-hak manusia
3) Transparan (Transparency)
adanya kebebasan aliran informasi dalam berbagai proses kelembagaan
sehingga mudah diakses oleh mereka yang membutuhkan. Informasi harus disediakan
secara memadai dan mudah dimengerti, sehingga dapat digunakan sebagai alat
monitoring dan evaluasi
4) Daya Tanggap (Responsiveness)
Setiap institusi prosesnya harus diarahkan pada upaya untuk melayani
berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholders)
5) Berorientasi Konsensus (Consensus Orientation)
Bertindak sebagai mediator bagi berbagai kepentingan yang berbeda untuk
mencapai kesepakatan. Jika dimungkinkan, dapat diberlakukan terhadap berbagai
kebijakan dan prosedur yang akan ditetapkan pemerintah
6) Berkeadilan (equity)
Memberikan kesempatan yang sama baik terhadap laki-laki maupun perempuan
dalam upaya meningkatkan dan memelihara kualitas hidupnya
7) Efektivitas dan efisiensi (effectiveness and efficience)
Segala proses dan kelembagaan dirahkan untuk menghasilkan sesuatu yang
benar-benar sesuai dengan kebutuhan melalui pemanfaatan yang sebaik-baiknya
berbagai sumber yang tersedia
8) Akuntabilitas (accountability)
Para pengambil keputusan (pemerintah, swasta dan masyarakat madani)
memilik pertanggung jawaban kepada public sesuai dengan keputusan baik internal
maupun eksternal
9) Bervsisi Strategis (Strategic Vision)
Para pemimpin masyarakat dan memiliki perspektif yang luas dan jangka
panjang dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan manusia dengan
memahami aspek-aspek histories, cultural, dan kompleksitas social yang
mendasari perspektif mereka
10) Saling Keterkaitan (interrelated)
Adanya saling memperkuat dan terkait (mutually reinforching) dan tidak
bisa berdiri sendiri
Sedangkan dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia pasca
gerakan reformasi nasional, prisnip-prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang
baik tertera dalam Undang-Undang No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Dalam pasal 3 dan
penjelsannya ditetapkan asas-asas umum pemerintahan yang mencakup:
1) Asas Kepastian Hukum
Yaitu asas dalam Negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan
perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan
penyelenggaraan Negara
2) Asas Tertib Penyelenggaraan Negara
Adalah asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan
keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan Negara
3) Asas Kepentingan Umum
Adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang
aspiratif, akomodatif, dan selektif
4) Asas Keterbukaan
Adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh
informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan
Negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan
dan rahasia Negara
5) Asas Proporsionalitas
Adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban
penyelenggaraan Negara
6) Asas Profesionalitas
Yaitu asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan
ketentuan peraturan perundnag-undangan yang berlaku
7) Asas Akuntabilitas
Adalah asas
yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir kegiatan penyelenggaraan
Negara harus dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai
pemegang kedaulatan tertinggi Negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. ( Eko Marsudi, Oktober 2006, Kepemerintahan
yang Baik, Pilar Daya Ratma, Solo )
Kesimpulan
Sementara :
Istilah pemerintah (Government) dapat dibedakan
dengan pemerintahan (governing). Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata
Pemerintah berarti Lembaga atau orang yang bertugas mengatur dan memajukan
Negara dengan rakyatnya. Sedangkan Pemerintahan adalah hal cara, hasil kerja
memerintah, mengatur Negara dengan rakyatnya.
Pemerintah dalam arti organ merupakan alat
kelengkapan pemerintahan yang melaksanakan fungsi Negara. Dalam organ,
pemerintah dapat dibedakan baik dalam arti luas maupun dalam arti sempit.
Adalah suatu pemerintah yang berdaulat sebagai
gabungan semua badan atau lembaga kenegaraan yang berkuasa dan memerintah di
wilayah suatu Negara meliputi badan eksukutif, legislative, dan yudikatif
Adalah suatu pemerintah yang berdaulat sebagai badan atau lembaga yang
mempunyai wewenang melaksanakan kebijakan Negara (eksekutif) yang terdiri dari
Presiden, wakil presiden, dan para menteri (kabinet)
BAB II
PEMBAHASAN
MASALAH
2.1
Karakteristik Pemerintahan Yang Tidak Trasparan
(tertutup)
Apabila ditinjau dari segi hukum, yaitu konstitusi maka secara umum
semua memang tidak akan bisa membedakan pemerintahan suatu negara adalah
tertutup. Hal ini karena secara umum negara di dunia sekarang adalah negara hukum
dan menganut demokrasi dengan coraknya masing-masing. Namun, apabila dilihat
dari perilaku dan kebijakan
pemerintahannya maka dapat dianalisis apakah pemerintahan itu tertutup atau
terbuka.
Secara praktik, perilaku dan kebijakan pemerintah adalah cenderung
bersifat otoriter dan dictator. Adapun secara definitif, karakater pemerintahan
tertutup tersebut adalah sebagai berikut.
1) Budaya
politik secara personal dan
kelembagaan negara cenderung elitis dan
eksklusif
2) Kekuasaan
ekonomi terpusat pada golongan elite politik
3) Penyelesaian
politik cenderung secara kekerasan
4) Kebijakan
politik pemerintah cenderung bersifat mendikte
5) Pengadilan
tidak bebas dan bersifat memihak
6) Kegiatan
organisasi politikdibatasi
7) Kebebasan
pers sangat dikebiri
8) Pengambilan
kebijakan negara cenderung sentralistik atau Top Down.
Demikianlah
beberapa karakteristik penyelenggaraan pemerintahan tertutup. Apabila dikaitkan
dengan corak pemerintahan yang pernah ada di Indonesia, yaitu zaman Orde Lama
dan Orde Baru maka kita dapat menyimpulkan bahwa penyelenggaraan pemerintahan
di Indonesia cenderung tertutup. Hal ini terkait dengan adanya pembatasan
terhadap ruang gerak pilar-pilar demokrasi (kedaulatan rakyat), yaitu partai
politik, pers, dan lembaga sosial (kelompok kepentingan dan kelompok penekan). (
Sumarsono, Oktober 2007, Pendidikan Kewarganegaraan, Yudistira, Bogor )
Dalam masyarakat modern atau post-modern dewasa ini, pola pemerintahan yang dapat dikembangkan sesuai dengan karakteristiknya masing-masing adalah sebagai berikut:
a. Kompleksitas
Dalam menghadapi kondisi yang kompleks, pola penyelenggaraan pemerintahan
perlu ditekankan pada fungsi koordinasi dan komposisi
b. Dinamika
Dalam hal ini pola pemerintahan yang dapat dikembangkan adalah pengaturan
atau pengendalian (steering) dan kolaborasi (pola interaksi saling
mengendalikan diantara berbagai actor yang terlibat dan atau kepentingan dalam
bidang tertentu)
c. Keanekaragaman
Masyarakat dengan berbagai kepentingan yang beragam dapat diatasi dengan
pola penyelenggaraan pemerintahan yang menekankan pengaturan (regulation) dan
integrasi atau keterpaduan (integration)
Berdasarkan
hal-hal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa penyelenggaraan pemerintahan
(Governing) dapat dipandang sebagai “Intervensi prilaku politik dan social yang
berorientasi hasil, yang diarahkan untuk menciptakan pola interaksi yang stabil
atau dapat diprediksikan dalam suatu system (sosial-politik), sesuai dengan
harapan ataupun utjuan dari para pelaku intervensi tersebut”. ( Huijbers Theo, Oktober 2006, Karakteristik
Pemerintahan, Yudistira, Bogor )
Suatu
pemerintahan atau kepemerintahan dikatakan Transparan (terbuka), apabila dalam
penyelenggaraan kepemerintahannya terdapat kebebasan aliran informasi dalam
berbagai proses kelembagaan sehingga mudah diakses oleh mereka yang
membutuhkan. Berbagai informasi telah disediakan secara memadai dan mudah
dimengerti, sehingga dapat digunakan sebagai alat monitoring dan evaluasi.
Kepemerintahan yang tidak transparan, cepat atau lambat cendrung akan menuju
kepemerintahan yang korup, otoriter, atau diktatur.
Dalam penyelenggaraan Negara, pemerintah dituntut bersikap terbuka terhadap kebijakan-kebijakan yang dibuatnya termasuk anggaran yang dibutuhkan dalam pelaksanaan kebijakan tersebut. Sehingga mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi terhadap kebijakan tersebut pemerintah dituntut bersikap terbuka dalam rangka ”akuntabilitas public”. ( Sanit Arbi, September, 1998, Pemerinahan Transparan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta )
Dalam penyelenggaraan Negara, pemerintah dituntut bersikap terbuka terhadap kebijakan-kebijakan yang dibuatnya termasuk anggaran yang dibutuhkan dalam pelaksanaan kebijakan tersebut. Sehingga mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi terhadap kebijakan tersebut pemerintah dituntut bersikap terbuka dalam rangka ”akuntabilitas public”. ( Sanit Arbi, September, 1998, Pemerinahan Transparan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta )
Realitasnya kadang kebijakan yang dibuat pemerintah dalam hal pelaksanaannya kurang bersikap ransparan, sehingga berdampak pada rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap setiap kebijakan yang dibuat pemerintah. Sebagai contoh, setiap kenaikan harga BBM selalu di ikuti oleh demonstrasi “penolakan” kenaikan tersebut. Pada hal pemerintah berasumsi kenaikan BBM dapat mensubsidi sector lain untuk rakyat kecil “miskin”, seperti pemberian fasilitas kesehatan yang memadai, peningkatan sector pendidikan, dan pengadaan beras miskin (raskin). Akan tetapi karena kebijakan tersebut pengelolaannya tidka transparan bahkan sering menimbulkan kebocoran (korupsi), rakyat tidak mempercayai kebijakan serupa dikemudain hari. ( Indarsi, Erlyn, Agustus 2006, Realitas Kebijakan Pemerintah, Semarang )
Kesimpulan
Sementara :
Secara praktik, perilaku dan kebijakan pemerintah
adalah cenderung bersifat otoriter dan dictator. Adapun secara definitif,
karakater pemerintahan tertutup tersebut adalah sebagai berikut.
1)
Budaya politik secara personal dan kelembagaan negara cenderung elitis dan eksklusif
2)
Kekuasaan ekonomi terpusat pada golongan elite politik
3)
Penyelesaian politik cenderung secara kekerasan
4)
Kebijakan politik pemerintah cenderung bersifat
mendikte
5)
Pengadilan tidak bebas dan bersifat memihak
6)
Kegiatan organisasi politikdibatasi
7)
Kebebasan pers sangat dikebiri
8)
Pengambilan kebijakan negara cenderung sentralistik
atau Top Down.
2.2
Akibat Dari Penyelenggaraan Pemerintah Yang Tidak Transparan
Ketertutupan
para penyelenggara Negara membuat sesuatu menjadi kabur, sehingga peluang
peyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah sangatlah memungkinkan.Dan kenyataan
inilah yang saat ini terjadi dalam pemerintahan kita. Lihat saja bagaimana
praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang di lakukan oleh oknum pemerintah
begitu tertutup rapih dan seolah-olah menjadi budaya dikalangan elit politik.
Sungguh kenyataan yang sangat ironis dan memprihatinkan.
Dan
akibat ketertutupan inilah partisipasi masyarakat terhadap penyelenggaraan
pemerintah semakin kecil. Apabila hal ini terus berlangsung, dan para
penyelenggara pemerintahan semakin menyalahgunakan kekuasaannya, maka dapat
dipastikan bahwa pemerintahan Negara semakin tidak dipercaya oleh
masyarakat. Bisa dibayangkan seandainya hal ini terjadi. Bila suatu pemerintah
sudah kehilangan kepercayaan dari masyarakat, berbagai unjuk rasa, penentangan,
kerusuhan massal yang akhir-akhir ini merebak, tidak dapat dielakan. Kita lihat
di laoangan bagaimana oknum pemerintah melakukan penggusuran secara paksa
terhadap Rakyat kecil. Para pedagang kaki lima yang digusur secara paksa.
Dimanakah letak keadilan? masihkah ada hati nurani dari para pemegang
kekuasaan. Sekali lagi dimanakah letak sebuah keadilan?
Sementara
tujuan Negara kita adalah terpenuhinya keadilan bagi rakyat Indonesia, sesuai
pembukaan UUD 1945 , bahwa Negara yang hendak didirikan adalah Negara
Indonesia yang adil dan makmur dan bertujuan menciptakan keadilan social bagi
seluruh rakyat Indonesia. Pesan yang terkandung dalam UUD 1945 inilah yang
seharusnya menjadi pedoman dan pemicu semangat bagi para penyelengara Negara
bahwa tugas utamanya adalah menciptakan keadilan. Ketidakadilan merupakan
sumber perpecahan sebuah bangsa. Adanya pertentangan, kerusuhan missal,
aksi-aksi demo, dan pergolakan di suatu wilayah, salah satu sumbernya adalah
ketidakadilan.
Sementara
para penyelenggara pemerintah menikmati kekayaan yang mereka tumpuk, rakyat
kecil semakin terpuruk. Apa sebenarnya demokrasi itu? “Dari rakyat, oleh
rakyat, untuk rakyat.” Apakah hal ini hanya dijadikan kedok untuk
menutupi kebobrokan pemerintah kita saat ini? kekuasaan yang dimiliki oleh
pemerintah sesungguhnya adalah suatu amanat yang harus dijalankan dengan
kejujuran oleh para penyelenggara pemerintahan.
Hilangnya kepercayaan
yang nantinya dapat berujung pada rasa saling curiga dari masyarakat terhadap
pemerintah, dapat mengancam stabilitas nasional. Untuk itu perlu di bangun dan
di bina sikap saling keterbukaan antara penyelenggara pemerintahan dan rakyat.
Dengan adanya keterbukaan inilah dapat melahirkan komunikasi yang akan
menumbuhkan kepercayaan dan mengatasi rasa saling curiga dengan demikian
suatu kehidupan yang yang menjadi tujuan Negara Indonesia sebagaimana yang
tertuang dalam UUD 1945 dapat terwujud.tentunya hal inilah yang selama ini kita
idamkan. (Kanguwes, November 2007. Wordpress.com)
Jika penyelenggaraan pemerintahan dilakukan dengan tertutup dan tidak
transparan, secara umum akan berdampak pada tidak tercapainya kesejahteraan
masyarakat atau warga Negara. Sebagaimana tercantum dalam konstitusi Negara,
yaitu pencapaian masyarakat yang adil dan makmur.
Sedangkan secara khsusus, penyelenggaraan yang tidak transparan akan
berdampak:
• Rendahnya atau bahkan tidak adanya kepercayaan warga Negara terhadap
pemerintahan
• Rendahnya partisipasi warga Negara terhadap kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintah
• Sikap apatis warga Negara dalam mengambil inisiatif dan peran yang berkaitan dengan kebijakan public
• Rendahnya partisipasi warga Negara terhadap kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintah
• Sikap apatis warga Negara dalam mengambil inisiatif dan peran yang berkaitan dengan kebijakan public
• Jika warga Negara apatis, ditunjang dengan rezim yang berkuasa sangat
kuatdan lemahnya fungsi legislative, KKN akan merajalela dan menjadi budaya
yang mendarah daging (nilai dominan)
• Krisis moral dan akhlak yang berdampak pada ketidakadilan, pelanggaran
hukum dan hak asasi manusia ( Joeniarto,
Oktober 1989, Dampak pemerintahan tertutup, Bina Aksara, Jakarta )
Prinsip-prinsip atau karakteristik yang telah dikemukakan UNDP tahun 1997 dijadikan Bench Marking (patok banding) tentang penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Dengan demikian, dapat dilihat beberapa indicator tentang penyelenggaraan pemerintahan yang tidak transparan beserta akibatnya:
• Warga masyarakat dibatasi/tidak memiliki hak suara dalam proses
pengambilan keputusan
• Informasi hanya sepihak (top down) lebih bersifat instruktif
• Lembaga perwakilan tidak dibangun berdasarkan kebebasan berpolitik
(partai tunggal)
• Kebebasan berserikat dan berpendapat serta pers sangat dibatasi
• Hukum dan peraturan perundang-undangan lebih berhak kepada pengausa
• Menegakkan hukum (law enforcement) lebihabnyak berlaku bagi masyarakat
bawah baik secara politik maupun ekonomi
• Peraturan tentang Hak-hak Asasi Manusia terabaikan demi stabilitas dan
pencapaian tujuan Negara
• Informasi yang diperoleh satu arah, yaitu hanya dari pemerintah
• Masyarakat sangat dibatasi dalam memperoleh segala bentuk inforamasi.
• Tidak ada atau sulit bagi masyarakat untuk memonitori / mengevaluasi
penyelenggaraan pemerintahan
• Proses pelayanan sentralistik dan kaku.
• Banyak pejabat memposisikan diri sebagai penguasa
• Layanan kepada masyarakat masih diskriminatif, fan bertele-tele (tidak
responsif)
• Pemerintah lebih banyak bertindak sebagai alat kekuasaan negara
• Lebih banyak bersifat komando dan indstruksi
• Segala macam bentuk prosedur lebih bersifat formalitas
• Tidak diberikannya peluang untuk mengadakan konsensus dan musyawarah
• Adanya diskriminasi gender dalam penyelenggaraan pemerintahan
• Menutup peluang bagi dibentuknya organisasi nonpemerintahan / LSM yang
menuntut keadilan dalam berbagai segi kehidupan
• Banyak peraturan yang masih berpihak pada gender tertentu
• Manajemen penyelenggaraan negara konvensional dan terpusat (top down)
• Kegiatan penyelenggaraan negara lebih banyak digunakan untuk
acara-acara seremonial
• Pemanfaat sumber daya manusia tidak terencana berdasarkan prinsip
kebutuhan
• Pengambil keputusan di dominasi oleh pemerintah
• Swasta dan masyarakat memiliki peran yang sangat kecil terhadap
pemerintah
• Pemerintah memonopoli berbagai alat produksi yang strategis
• Masyrakat dan pers tidak diberi kesempatan untuk menilai jalannya
pemerintahan
• Pemerintah lebih luas dengan kemapaman yang tlah dicapai
• Sulit menerima perubahan terutama berkaitan dengan masalah politik,
hukum dan ekonomi
• Kurang mau memahami aspek-aspek kultural, historis, dan kompleksitas
sosial masyarakatnya
• Penyelenggaraan pemerintahan statis dan tidak memiliki jangkauan jangka
panjang
• Banyaknya penguasa yang arogan dan mengabaikan peran swasta atau
masyrakat
• Pemerintah merasa yang paling benar dan paling pintar dalam menentukan
jalannya kepemerintahan
• Masukan dan kritik dianggap provokator anti kemapanan dan stabilitas
• Swasta dan masyarakat tidak diberi kesempatan untuk bersinergi dalam
membangun negara
• Warga masyrakat dan pers cendrung pasif, tidak ada kritik (unjuk rasa)
tidak berdaya dan terkekang dengan berbagai aturan dan doktrin
• Penguasa menjadi otoriter, posisi tawar masyrakat lemah dan lebih
banyak hidup dalam ketakutan dan tertekan
• Pemerintah sangat tertututp dengan segala kejelekannya sehingga
masyrakat tidak banyak tahu apa yang terjadi pada negaranya
• Banyaknya pejabat yang memposisikan diri sebagai penguasa, segala
layanan sarat dengan korupsi, kolusi dan nepotisme
• Pemerintah cenderung otoriter karena menutup jslsn terlaksananya
konsensus dan musyawarah
• Arogansi kekuasaan sangat dominan dalam menentukan penyelenggaraan
pemerintahan
• Negara cenderung salah urus dalam mengelolah sumber daya alam dan
sumber daya manusianya sehingga banyak pengangguran dan tidak memiliki daya
saing
• Dominasinya pemrintah dalam semua lini kehidupan menjadikan warga
masyarakatnya tidak berdaya mengontrol apa saja yang telah dilakukan
pemerintahnya
• Banyaknya penguasa yang pro status quo dan kemapanan sehingga tidak
memperdulikan terjadinya perubahan baik internal maupun eksternal negaranya
• Para pejabat pemerintah sering dianggap lebih atau tahu dalam segala
hal, sehingga masyarakat tidak merasakan dan tidak punya keinginan untuk
bersinergi dalam membangun negaranya
Dampak yang paling besar terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang tidak transparan adalah korupsi. Istilah “korupsi” dapat dinyatakan sebagai suatu perbuatan tidak jujur atau penyelewengan yang dilakukan karena adanya suatu pemberian. Dalam praktiknya, korupsi lebih dikenal sebagai menerima uang yang ada hubungannnya dengan jabatan tanpa ada catatan admnistratif. Menurut MTI (Masyarakat Transparansi Internasional), “korupsi merupakan perilaku pejabat, baik politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.”
Korupsi tumbuh subur terutama pada negara-negara yang menerapkan sistem politik yang cenderung tertutup, seperti absolut, diktatur, totaliter, dam otoriter. Hal ini sejalan dengan pandangan Lord Acton, bahwa “the power tends to corrupt…” (kekuasaan cenderung untuk menyimpang) dan “… absolute power corrupts absolutely” (semakin lama seseorang berkuasa, penyimpangan yang dilakukannya akan semakin menjadi-jadi).
Di Indonesia, rezim pemerintahan yang paling korup adalah masa Orde Baru.
Berdasarkan laporan Wold Economic Forum dalam “the global competitivennennssn
report 1999”, kondisi Indonesia termasuk yang terburuk diantara 59 negara yang
diteliti. Bahkan pada tahun 2002, menurut laporan “political and risk
consultancy (PERC) atau Lembaga Konsultasi Politik dan Risiko yang berkedudukan
di Hongkong, Indonesia” berhasil mengukir prestasim sebagai negara yang paling
korup di Asia.
Tampaknya tdak salah lagi bahwa rezim Orde Baru yang berkuasa kurang lebih selama 32 (tiga puluh dua) tahun telah membawa Indonesia kejurang kehancuran krisis ekonomi yang berkepanjangan. Ini semua merupakan akumulasi dari pemerintahan yang dikelolah dengan tidak transparan, sehingga masalah korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) telah meracuni semua aspek kehidupan dan mencangkup hampir semua institusi formal maupun nonformal. Mafia peradilan dan praktik politik uang merupakan contoh dari segudang bentuk praktik KKN.
Tampaknya tdak salah lagi bahwa rezim Orde Baru yang berkuasa kurang lebih selama 32 (tiga puluh dua) tahun telah membawa Indonesia kejurang kehancuran krisis ekonomi yang berkepanjangan. Ini semua merupakan akumulasi dari pemerintahan yang dikelolah dengan tidak transparan, sehingga masalah korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) telah meracuni semua aspek kehidupan dan mencangkup hampir semua institusi formal maupun nonformal. Mafia peradilan dan praktik politik uang merupakan contoh dari segudang bentuk praktik KKN.
1) Sebab-sebab korupsi
Mengenai sebab-sebab terjadinya korupsi, hingga sekarang ini para ahli
belum dapat memberikan kepastian apa dan bagaimana korupsi itu terjadi.
Tindakan korupsi bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri, melainkan ada
variabel lain yang ikut berperan. Penyebabnya dapat karena faktor internal si
pelaku itu sendiri, maupun dari situasi lingkungan yang “memungkinkan” bagi
seseorang untuk untuk melakukannya.
Berikut adalah pendapat ahli berkaitan dengan faktor-faktor penyebab terjadinya tindak korupsi.
1 Sarlito W. Sarwono
• Dorongan dari dalam diri sendiri (seperti keinginan, hasrat, kehendak,
dan lain-lain)
• Rangsangan dari luar (seperti teman, adanya kesepakan, kurang kontrol, dan lain-lain)
2 Andi Hamzah
• Rangsangan dari luar (seperti teman, adanya kesepakan, kurang kontrol, dan lain-lain)
2 Andi Hamzah
• Kekurangan gaji pegawai negeri dibandingakan dengan kebutuhan yang
makin meningkat
• Latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia yang merupakan sumber
atau sebab meluasanya korupsi
• Manajemen yang kurang baik dan kontrol yang kurang efektif dan efisien
yang memberikan peluang orang untuk korupsi
• Modernisasi pengembangbiakan korupsi
2) Ciri-ciri korupsi
Penyalahgunaan wewenang dengan jalan korupsi, tampaknya tidak hanya
didominasi oleh oknum aparat pemerintahan, akan tetapi institusi lain juga melakukan
hal sama dengan ciri-ciri sebagai berikut :
• Melibatkan lebih dari satu orang
• Pelaku tidak terbatas pada oknum pegawai pemerintahan, tetapi juga
pegawai swasta
• Sering digunakan bahasa “sumir” untuk menerima uang sogok, yaitu: uang kopi, uang rokok, uang semir, uang pelancar, salam tempel, uang pelancar baik dalam bentuk uang tunai, benda tertentu atau wanita
• Sering digunakan bahasa “sumir” untuk menerima uang sogok, yaitu: uang kopi, uang rokok, uang semir, uang pelancar, salam tempel, uang pelancar baik dalam bentuk uang tunai, benda tertentu atau wanita
• Umumnya bersifat rahasia, kecuali jika sudah membudaya
• Melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik yang selalu
tidak berupa uang
• Mengandung unsur penipuan yang biasanya ada pada bahan publik atau
masyarakat umum
3) Akibat tindak korupsi
Siapapun pelakunya, sekecil apapun perbuatan tindak korupsi akan
mendatangkan kerugian pada pihak lain. Beberapa akibat yang ditimbulkan dari
tindakan korupsi yang pada umumnya tampak di permukaan adalah sebagai berikut :
• Mendelegetimasi proses demokrasi dengan mengurangi kepercayaan publik
terhadap proses politi melalui politik uang
• Mendistorsi pengambilan keputusan pada kebijakan publik, membuat
tiadanya akuntabilitas publik dan manafikan the rule of law. Hukum dan
birokrasi hanya melayani kekuasaan dan pemilik modal
• Meniadaklan sistem promosi (riward and punishment), karena lebihy
dominan hubungan patronklien dan nepotisme
• Proyek-proyek pembangunan dan fasilitas umum bermutu rendah dan tidak
sesuai dengan kebutuhan masyarakat sehingga mangganggu pembangunan yang
berkelanjutan
• Jatuh atau rusaknya tatanan ekonomi karena produk yang dijual tidak kompetitif dan terjadi penumnpukan beban utang luar negeri
• Jatuh atau rusaknya tatanan ekonomi karena produk yang dijual tidak kompetitif dan terjadi penumnpukan beban utang luar negeri
• Semua urusan dapat diatur sehingga tatanan/ aturan dapat dibeli dengan
sejumlah uang sesuai kesepakatan
• Lahirnya kelompok-kelompok pertemanan atau “koncoisme” yang lebih
didasarkan kepada kepentingan pragmatisme uang. ( Suprapto, Oktober 2003, Akibat Korupsi, Bumi Aksara, Jakarta )
Kesimpulan Sementara :
Jika penyelenggaraan pemerintahan dilakukan dengan tertutup dan tidak
transparan, secara umum akan berdampak pada tidak tercapainya kesejahteraan
masyarakat atau warga Negara. Sebagaimana tercantum dalam konstitusi Negara,
yaitu pencapaian masyarakat yang adil dan makmur.
Sedangkan secara khsusus, penyelenggaraan yang tidak transparan akan
berdampak:
• Rendahnya atau bahkan tidak adanya kepercayaan warga Negara terhadap
pemerintahan
• Rendahnya partisipasi warga Negara terhadap kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintah
• Sikap apatis warga Negara dalam mengambil inisiatif dan peran yang berkaitan dengan kebijakan public
• Rendahnya partisipasi warga Negara terhadap kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintah
• Sikap apatis warga Negara dalam mengambil inisiatif dan peran yang berkaitan dengan kebijakan public
• Jika warga Negara apatis, ditunjang dengan rezim yang berkuasa sangat
kuatdan lemahnya fungsi legislative, KKN akan merajalela dan menjadi budaya
yang mendarah daging (nilai dominan)
• Krisis moral dan akhlak yang berdampak pada ketidakadilan, pelanggaran
hukum dan hak asasi manusia
2.3 Upaya Pencegahan Terhadap Penyelenggaraan
Pemerintah Yang Tidak Transparan
Upaya menghindari penyelenggaraan pemerintahan yang
tidak transparan sehingga melahirkan “budaya” korupsi, kolusi dan nepotisme
(KKN) dapat dilakukan, anatara lain melalui jalur-jalur sebagai berikut:
1. Formal pemerintah/ kekuasaan
1. Formal pemerintah/ kekuasaan
(1) pemerintah dan pejabat publik perlu pengawasan melekat (waskat) dari
aparat berwenang, DPR, dan masyarakat luas sehingga yang terbukti bersalah
diberikan sanksi yang tegas tanpa diskriminasi
(2) mengefektifkan peran dan fingsi aparat penegak hukum, seperti
kepolisian, kejaksaan, para hakim, serta komisi pemberantas korupsi
(3) pembekalan secara intensif dan sistematis terhadap aparatur
pemerintah dan pejabat publik dalam hal nilai-nilai agama dan sosial budaya
(4) menegakkan supermasi hukum dan perundang-undangan secara konsisten
dan bertanggung jawab serta menjamin dan menghormati hak asasi manusia
(5) mengatur peralihan kekuasaan secara tertib, damai dan demokrastis
sesuai dengan hukum dan perundang-undangan
(6) menata kehidupan politik agar distribusi kekuasaan dalam berbagai
tingakat struktur politik dan hubungan kekuasaan dapat berlangsung dengan
seimbang
(7) meningkatkan integritas, profesionalisme, dan tanggung jawab dalam
penyenggaraan negara serta memberdayakan masyarakat untuk melakukan kontrol
sosial secara konstruktif dan efektif (
Budi, Oktober 1999, Kekuasaan, Gramedia, Jakarta )
2. Organisasi non-pemerintah dan media massa
(1) keterlibatab lemnbaga swadaya masyarakat (LSM) atau NGO
(non-Government Organization) dalam mengawasi setiap kebijakan publik yang
dibuat pemerintahan seperti ICW, MTI, GOWA dan sebagainya
(2) adanya kontrol sosial untuk perbaikan komunikasi yang berimbang
antara pemerintah dan rakyat melalui berbagai media massa elektronik maupun
cetak ( Eko, Desember 1998, Media Massa,
Pilar Daya Ratma, Solo )
3. Pendidikan dan masyarakat
(1) memperkenalkan sejak dini melalui pembelajaran di sekolah tentang
pentingnya pemerintah yang transparan melalui mata pelajaran Kewarganegaraan
(2) menjadikan pancasila sebagai dasar negara yang mampu membuka wacana
dan dialog interaktif di dalam masyarakat sehingga dapat menjawab tantangan
yang dihadapi sesui dengan visi Indonesia masa depan
(3) meningkatkan kekurangan sosial anatara pemeluk agama, suku, dan
kelompok-kelompok masyarakat lainnya melalui dialog dan kerja sama dengan
prinsip kebersamaan, kesetaraan, toleransi, dan saling menghormati
(4) memberdayakan masyarakat melalui perbaikan sistem politik yang
demokratis sehingga dapat melahirkan pemimpin yang berkualitas, bertanggung
jawab, menjadi panutan masyarakat, dan mampu mempersatukan bangsa dan Negara ( Yuwanto, Oktober 1996, Pendidikan dan
Masyarakat, Undip, Semarang )
Kesimpulan Sementara :
Upaya menghindari penyelenggaraan pemerintahan yang
tidak transparan sehingga melahirkan “budaya” korupsi, kolusi dan nepotisme
(KKN) dapat dilakukan, anatara lain melalui jalur-jalur sebagai berikut:
1. Formal pemerintah/ kekuasaan
1. Formal pemerintah/ kekuasaan
2. Organisasi non-pemerintah dan media massa
3. Pendidikan dan masyarakat
2.4 Kondisi
Dalam Bidang Politik dan Hukum Pemerintahan Yang Tidak Transparan
1) Bidang
Politik
Dalam bidang ini, kondisi
politik secara umum dapat digambarkan sebagai berikut.
a) Pengaruh budaya masyarakat
yang sangat kental dengan corak paternalistik dan kultur neofeodalistiknya
sangat kuat masuk dalam tatanan kehidupan politik yang dibangun. Hal ini
mengakibatkan proses partisipasi dan budaya politik dalam sistem politik
nasional tidak berjalan sebagaimana mestinya. Corak pemerintahan seperti ini
berdampak kepada aspek-aspek sebagai berikut.
(1) Sikap mental
ketergantungan dari atas (elite politik) yaitu
(a) Terbiasa melakukan sesuatu
dengan menunggu petunjuk atau perintah dari atas,
(b) Kurang berani mengambil
inisiatif dan menghadapi resiko
(c) Daya kreativitas tumpul
karena takut salah,takut atasan tidak berkenan, dan
(d) Bangsa sutit menjadi
dewasa dan maju
(2) Sikap mental (kultur) suka
menyenangkan atasan yang berdampak pada
(a) Corak paternalistik dan
neofeodalistik,
(b) Bawahan atau masyarakat
cenderung berusaha untuk selalu menyenangkan atasannya,
(c) Tumbuh budaya Asal Bapak
Senang, dan
(d) Banyak rekayasa dan
kamuflase, antara yang dilaporkan dengan kenyataannya berbeda.
(3) Sikap mental (kultur)
mengesampingkan kritik apalagi oposisi, yaitu
(a) Pimpinan dipandang sebagai
figure yang pertama,
(b) Gagasan yang paling benar
diyakini muncul dari pimpinan, dan
(c) Korupsi, kolusi, dan
nepotisme tumbuh subur.
(4) Sikap mental (kultur)
apatis, yaitu
(a) Segala sesuatu (keputusan
atau kebijakan negara) selalu ditentukan dari atas,
(b) Usul atau kritik diabaikan
dan dianggap salah,
(c) Rakyat bersikap diam dan
acuh tak acuh terhadap pemerintahan, dan
(d) Munculnya Golput (golongan
putih/tidak memilih) dalam pemilihan umum.
b) Kukuasaan eksekutif
terpusat pada presiden dan tertutup dibawah kontrol lembaga kepresidenan,
berakibat pada
(1) Krisis struktural dan
sistemik, yaitu kurang fungsinya lembaga negara secara maksimal (DPR, MPR, DPA,
BPK kurang produktif dan aspiratif), dan
(2) Pergerakan partai politik maupun dinamika
masyarakat terkooptasi (melalui UU pemilu, Partai Politik dan keanggotaan DPR
dan DPR yang memungkinkan menguatkan eksekutif)
Dinamika tersebut berwujud pada
aspek-aspek sebagai berikut.
(a) UU Nomor 15 Tahun 1969
tentang ABRI tidak memiliki hak pilih tetapi mempunyai wakil di DPR MPR.
(b) UU No.16 Tahun 1969
ditetapkan untuk anggota MPR sepertiga anggota diangkat oleh Presiden. Untuk
anggota DPR dari jumlah 460 orang, 100 orang diantaranya diangkat oleh Presiden
dari unsur golongan karya, ABRI, dan bukan ABRI.
(c) Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 12 Tahun 1969 yang menggiring Pegawai Negeri untuk menyalurkan
aspirasi politiknya ke dalam Golongan Karya. Dan Peraturan Pemerintah Nomor 6
Tahun 1970 yang melarang semua Peawai Negeri Sipil, termasuk ABRI terlibat
dalam berbagai kegiatan partai dan menuntut loyalitas tunggal terhadap
pemerintah.
(d) Dalam Pemilu Tahun 1971
Golkar meraih 62,8%, tahun 1977 memperoleh 62,1%, tahun 1982 meraih 64,3%, dan
tahun 1987 memperoleh 73,2%. Dlam pemilu tahun 1992 meraih 68,1%, dan pada
pemilu tahun 1997 meraih 70,2%. Dengan kemenangan mutlak suara Golkar di DPR
maupun MPR, berarti memperkukuh posisi Presiden di lembaga itu.
c) Mekanisme hubungan pusat dan
daerah cenderung menganut sentralisasi kekuasaan dan kebijakan sehingga
berdampak pada hal-hal sebagai berikut.
(1) Kebijaan pemerintah kurang
sesuai dengan kondisi geografis dan demografis.
(2) Peratuan perundang-undangan bersifat memihak
pemerintah pusat. UU No.5 Tahun 1974 tentang
Pokok-pokok Pemerintahan Daerah dalam kebijakan meliputi pengelolaan sumber
kekayaan alam, pembagian keuangan, penentuan pejabat daerah, dan lain-lain
dirasakan kurang tepat dan tidak adil, sebab akan membuat rakyat merasa asing
di daerahnya.
(3) Rakyat bersifat pasif dan
hanya sebagai objek pembangunan belaka. Banyaknya kebocoran dana yang dibawa
dari daerah ke pusat, penentuan pejabat di daerah melalui rekayasa untuk
kepentingan kelompok atau golongan tertentu.
2) Bidang
Hukum
Di masa pemerintahan Orde Baru, pembangunan hukum
khususnya yang menyangkut peraturan perundang-undangan organik tentang
pembatasan kekuasaan Presiden belum memadai. Kondisi ini member peluang
terjadinya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme serta memuncak pada
penyimpangan berupa penafsiran yang hanya sesuai dengan selera penguasa.Telah
terjadi penyalahgunaan wewenang, pelecehan hukum, pengabaian rasa keadilan,
serta kurangnya perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat.
Jarang dijumpai bahwa hukum ditegakkan dengan serius
apabila akibatnya akan beresiko menyentuh golongan elite yang sedang berkuasa.
Sekelumit contoh, siapa pembunuh Marsinah atau Udin, hingga akhir pemerintahan Orde
Baru, bahkan sekarang belum terungkap tuntas.
Di samping itu, pembinan lembaga peradilan oleh
eksekutif merupakan peluang bagi penguasa melakukan intervensi ke dalam proses
peradilan, serta berkembangnya kolusi dan praktik-praktik negatif pada proses peradilan.
Penegakan hukum belum memberi rasa
keadilan dan kepastian hukum pada kasus-kasus yang menghadapkan pemerintah atau pihakyang kuat dengan rakyat,
sehingga menempatkan rakyat pada posisi yang lemah.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa keterkaitan
penyelenggaraan pemerintahan tertutup di berbagi bidang juga berdampak pada
kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegaraadalah sebagai berikut.
a) Penyelenggaraan
pemerintahan di bidang politik yang pada hakikatnya didominasi oleh Presiden,
Golongan Karya, dan ABRI telah tertutup dari unsur masyarakat lain sehingga
masyarakat merasa aspirasinya tidak dapat disalurkan dengan baik (tersumbat).
Akibatnya mereka acuh tak acuh dan tidak puas dengan keadaan tetapi mereka
tidak bisa dan tidak berani berbuat apa-apa untuk melakukan perubahan.
Akibatnya, mereka memilih diam dan menahan seraya menunggu kesempatan tiba.
b) Sementara itu,
penyelenggaraan perekonomian yang ditentukan oleh sekelompok elite penguasa di
bawah komando Presiden dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu untuk mendapatkan
kesempatan dengan kepandaian melobi penguasa, mereka mendapatkan banyak
fasilitas dan kemudahan. Sedangkan yang tidak menjadi terpinggirkan. Dari
praktik seperti itu kemudian melahirkan konglomerat di Indonesia yang sekaligus
pula melahirkan kecemburuan antarpelaku ekonomi di samping kesenjanagn social
yang tajam di tengah masyarakat.
c) Soko guru perekonomian
bergeser, bukan terletak di tangan koperasi yang pada hakikatnya seluruh
rakyat, melainkan berada di tangan konglomerat
tersebut. Belum lagi merebaknya praktik korupsi dan utang luar negeri
yang di katakan cukup aman ternyata mengkhawatirkan. Hal inilah yang membuat
bangsa kita menjadi terpuruk dan harga dirinya jatuh di depan masyarakat
internasional. Akibatnya, rakyat menjadi banyak yang tidak puas.
d) Penyelenggaraan di bidang
hukum yang dinilai oleh masyarakat kebanyakan, banyak berpihak pada pihak yang
kuat. Para penegaknya bermoral rendah sehingga dalam maslah peradilan sampai
ada kata sindiran KUHP yang mestinya singkatan Kitab Undang-undang Hukum Pidana
diplesetkan menjadi “Kasih Uang Habis Perkara”. Kemudian juga ada istilah calo
perkara, mafia peradilan. Itu semua mencerminkan betapa buruknya penegakan
hukum dan keadilah di Indonesia. Akibatnya
rakyat menjadi putus asa abila mempunyai perkara yang seharusnya
diselesaikan di pengadilan, karena hasilnya sudah dapat ditebak akan
dimenangkan pihak yang kuat, baik kuat kedudukannya, uangnya, maupun kuat
hubungannya, dan lain-lain. Itulah sebabnya masyarakat menjadi sulit di cegah
untuk tidak main hakim sendiri, karena mereka menilai pengadilan belum mampu
menciptakan rasa keadilan masyarakat.
Kondisi politik yang
demikian kemudian melahirkan perasaan tidak puas, sistem penyelenggaraan
perekonomian yang banyak menguntungkan
sekelompok kecil orang dan penegakan hukum yang buruk. Akhirnya, dengan dipici
adanya krisis moneter dan berlanjut menjadi krisis ekonomi, spontan sebagian
besar rakyat yang sejak semula merasa kecewa dengan kondisi seperti di atas,
seakan-akan menjadi kehilangan kesabaran bahkan kehilangan akal sehatnya,
kemudian tidak percaya lagi dengan pemerintah. Mereka menumpahkannya lewat
demonstrasi, unjuk rasa besar-besaran, bahkan ada yang melakukan perusakan,
penjarahan, dan aksi-aksi brutal lainnya. Mereka menuntut agar pucuk pimpinan
pemerintah Orde Baru mundur dari jabatnnya dan segera diadakan langkah-langkah
perbaikan ekonomi di samping pembersihan praktik KKN.
Presiden Soeharto yang
merasa sudah tidak mendapatkan kepercayaan, akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998
mengundurkan diri dari jabatan Presiden dan menyerahkannya kepada Wakil
Presiden B.J Habibie. Peristiwa tersebut menandai berakhirnya pemerintahan Orde
Baru yang bersifat Reformasi.
Demikian selayang pandang
pemerintahn tertutup Orde Baru berikut akibatnya. Setelah tahu akibatnya
demikian, semoga pemerintah sekarang dapat mengambil hikmah dari pemerintahan
sebelumnya sehingga tidak mengulangi kesalahan masa lalu. Dengan demikian, ke
depan bangsa ini tidak saling menggugat dan saling menyalahkan. Akan tetapi,
tinggal melanjutkan dan mengembangkan apa-apa yang telah diletakkan sekarang
sehingga akan cepat maju, kuat, dan mampu menjaga kelangsungan hidupnya. (
Sumarsono, Oktober 2007, Pendidikan Kewarganegaraan, Yudistira, Bogor )
Dalam bidang ini, kondisi politik dan hukum secara
umum dapat digambarkan seperti berikut :
• Penguasa
yang ingin mempertahankan kekuasaannya sehingga melakukan perbuatan
“menghalalkan segala cara” demi ambisi dan tujuan politiknya
• Peralihan
kekuasaan yang sering menimbulkan konflik, pertumpahan darah, dan dendam antara
kelompok di masyarakat ( Harris, Oktober
2001, Politik dan Hukum, LP3ES, Jakarta)
• Pemerintah
mengabaikan proses demokratisasi, sehingga rakyat tidak dapat menyalurkan
aspirasi politiknya (saluran komunikasi tersumbat), maka timbul gejolak politik
yang bermuaran pada gerakan reformasi yang menuntut kebebasan, kesetaraan, dan
keadilan
• Pemerintahan yang sentralistis sehingga timbul kesenjangan dan
ketidakadilan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang sering
memunculkan konflik vertika, yaitu adanya tuntutan memidahkan diri dari Negara
•
Penyalahgunaan kekuasaan karena lemahnya fungsi pengawasan internal dan oleh
lembaga perwakilan rakyat, serta terbatasnya akses masyarakat dan media massa
untuk mengkritisi kebijakan-kebijakan yang dilaksanakan ( Sumardjan, Februari, Kondisi Politik, Rajawali, Jakarta)
• Terabaikannya nilai-nilai agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa
sebagai sumber etika sehingga dikemudian hari melahirkan perbuatan tercela
antara lain berupaketidak adilan, pelanggaran hukum, dan pelanggaran hak asasi
manusia
• Sering terjadinya konflik social sebagai konsekuensi keberagaman suku,
agama, ras, dan golongan yang tidak dikelola dengan baik dan adil
• Perilaku ekonomi yang sarat dengan praktik korupsi, kolusi, dan
nepotisme, serta berpihak pada sekelompok pengusaha besar
• System politik yang otoriter sehingga para pemimpinnya tidak mampu lagi
menyerap aspirasi dan memperjuangkan kepentingan masyrakat
• Hukum telah
menjadi alat kekuasaan sehingga pelaksanaannya banyak bertentangan dengan
prinsip keadilan, termasuk masalah hak warga Negara dihadapan hukum ( Yuwanto, Juli 1997, Kondisi Hukum, Ui Press, Bogor )
Kesimpulan Sementara :
kondisi politik dan hukum secara
umum dapat digambarkan seperti berikut :
• Penguasa
yang ingin mempertahankan kekuasaannya sehingga melakukan perbuatan
“menghalalkan segala cara” demi ambisi dan tujuan politiknya
• Peralihan
kekuasaan yang sering menimbulkan konflik, pertumpahan darah, dan dendam antara
kelompok di masyarakat
2.5 Penyelenggaraan Pemerintah Yang Tidak Transparan
Informasi
merupakan salah satu bagian yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat di
dunia saat ini, terlebih jika kita tinggal dalam suatu negara demokrasi yang
mengenal adanya pengakuan terhadap kebebasan dalam memperoleh informasi bagi
rakyatnya. Tertutupnya kebebasan dalam memperoleh informasi dapat berdampak
pada banyak hal seperti rendahnya tingkat pengetahuan dan wawasan warga negara
yang pada akhirnya juga berdampak pada rendahnya kualitas hidup suatu bangsa.
Sementara itu dari segi penyelenggaraan pemerintahan, tidak adanya informasi
yang dapat diakses oleh publik dapat berakibat pada lahirnya pemerintahan yang
otoriter dan tidak demokratis. ( Vivi,
Januari 2000, Informasi, Ghalia Indonesia, Jakarta )
Pada dasarnya,
pemerintahan di negara-negara demokrasi telah menyadari bahwa terciptanya
keterbukaan dalam memperoleh informasi bagi publik dapat memberikan dampak
positif bagi kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan hukum di negaranya.
Keterbukaan informasi dalam penyelenggaraan pemerintahan juga merupakan salah
satu wujud komitmen pemerintah dalam melaksanakan prinsip-prinsip good
governance dan demokratisasi pemerintahan, di mana salah satu butir di antara
butir-butir good governance adalah adanya keterbukaan pemerintah (transparency)
kepada masyarakat.
Keterbukaan akses
informasi bagi publik di sisi lain juga dapat menjadi salah satu alat penunjang
kontrol masyarakat atas kinerja pemerintah ataupun unit-unit kerjanya. Dalam
konteks bidang keamanan dan pertahanan, setiap negara demokrasi juga membuka
ruang-ruang tersedianya informasi yang dapat diakses masyarakat. Hal ini
dimaksudkan agar hak-hak warga negara tetap terjaga dan tidak terenggut. Di
samping itu, adanya keterbukaan memperoleh informasi juga dapat menjadikan
aktor pertahanan menjadi lebih profesional selalu bertindak dengan berdasarkan
hukum.
Sebagai sebuah negara
yang demokratis, Indonesia juga tentunya harus tetap memandang bahwa kebebasan
memperoleh informasi bagi publik merupakan suatu hal yang pada dasarnya harus
tetap dijaga. Adapun terkait beberapa hal yang sifatnya "rahasia" di
mana di dalamnya terdapat hal-hal yang sensitif terutama menyangkut persoalan
kedaulatan negara haruslah dapat didefinisikan dengan jelas dan tetap mengacu
pada Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik.
Selama masa
pemerintahan Orde Baru, keterbukaan untuk memperoleh informasi sangat dibatasi
pemerintah. Bahkan, beberapa media yang sangat kritis dan lugas dalam
menyajikan informasi dengan sangat mudah dibekukan pemerintah. Dengan alasan
kerahasiaan, pemerintah Orde Baru banyak mengotrol berbagai informasi yang akan
keluar dan diterima masyarakat sehingga sangat wajar apabila informasi yang
akan disajikan media harus melewati pengawasan yang ketat. Hal ini tentunya
dimaksudkan agar tidak terjadi gejolak perlawanan di dalam masyarakat.
Tertutupnya pintu
untuk memperoleh informasi juga sangat berdampak negatif pada lemahnya jaminan
kepastian hukum dan perlindungan HAM bagi masyarakat, pemerintahan pun pada
akhirnya menjadi pemerintahan yang otoriter sehingga sangat wajar apabila
berbagai kalangan berpendapat bahwa pada masa Orde Baru banyak sekali
terjadi kasus penculikan aktivis yang
sangat vokal mengkritisi kebijakan pemerintah. Dengan mengatasnamakan keamanan
dan rahasia negara, pemerintah Orde Baru juga telah menafsirkan sifat
kerahasiaan negara demi kepentingan dan keberlangsungan kekuasaannya sehingga
mengakibatkan banyak pihak yang menjadi khawatir dengan setiap tindakan dan
ucapan mereka karena selalu diintai.
Sifat rahasia negara
yang ditafsirkan dan diimplementasikan oleh pemerintahan Orde Baru untuk
menghalang-halangi kebebasan memperoleh informasi, pada dasarnya juga menyeret
aktor pertahanan dan keamanan pada posisi yang tidak profesional sehingga
ketika kita berbicara mengenai rahasia negara dan kebebasan memperoleh
informasi, pada saat ini, tidak akan terlepas pula dari proses reformasi di
bidang pertahanan dan keamanan.
Jatuhnya tampuk
kekuasaan Orde Baru telah membuka harapan bagi kehidupan bernegara yang lebih
demokratis, dan keterbukaan pemerintah terhadap masyarakat menjadi salah satu
tuntutan dalam agenda perjuangan reformasi. Keterbukaan pemerintah kepada
masyarakat merupakan suatu hal yang memang sudah selayaknya dilakukan sejak
dahulu sebab Indonesia adalah negara yang menganut sistem demokrasi, sebuah
negara demokrasi yang lahir dari kedaulatan rakyat sehingga kedaulatan
sepenuhnya berada di tangan rakyat. Oleh karena itu, pemerintah wajib bersikap
transparan kepada rakyatnya.
Negara Indonesia yang
ingin mensejahterakan seluruh rakyat perlu mengimplementasikan formulasi
pembentukan negara dalam kosepnya yang terkenal Kontrak Sosial (Du Contract
social ou principes du droit politique) yang dibuat pada tahun 1762 oleh Jean
Jacques Rousseau (1712-1778). Rousseau melihat hubungan individu dengan negara
haruslah didasari pada sebuah kesepakatan untuk bernegara sesuai dengan tujuan
yang dicita-citakan bersama. Kesepakatan yang penting harus dipenuhi adalah
tentang hak dan kewajiban.
Dalam uraiannya,
Rousseau menekankan pentingnya istilah volente generale (kehendak umum) yang
merupakan cikal bakal lahirmya masyarakat sipil. Sebuah negara haruslah
didasarkan pada kesepakatan umum yang jika dilanggar akan mengakibatkan
ketidakadilan. Konsep ketidakadilan, dengan sendirinya membubarkan kesepakatan
umum dan juga kontrak sosial.
Konstitusi (UUD) pada
hekakatnya merupakan kontrak sosial dalam kehidupan bernegara. Pasal 28 F pada
prinsipnya memberikan hak pada setiap orang untuk berkomunikasi dan memperoleh
informasi. Hak tersebut selain diatur dalam pasal tersebut, juga jauh
sebelumnya sudah ditetapkan PBB melalui resolusi 59 ayat 1 Tahun 1946 dan
Internasional Cevenant on Civil and Political Rights 1966 Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia PBB pasal 19 yang menegaskan bahwa hak atas informasi
merupakan hak asasi dan hak konstitusional sehingga wajib dilindungi oleh
negara.
Dunia sekarang sudah
memasuki Era Informasi, dimana informasi adalah kekuasaan ("from brown to
brain"). Telah terjadi suatu Powershift, kata Alvin Toffler. Era informasi
ini sejalan dengan demokratisasi, pengurangan dominasi pemerintah, pemajuan
Hak atas informasi
tersebut meliputi : (1). Hak publik untuk memantau atau mengamati perilaku
pejabat publik dalam menjalankan fungsi publiknya (right to observe); (2). Hak
publik untuk mendapatkan/mengakses informasi (public access to information);
(3). Hak publik untuk berpartisipasi dalam proses pembentukan kebijakan (right
to participate); (4). Kebebasan berekspresi yang salah satunya diwujudkan
kebebasan pers (free and responsible pers); (5). Hak publik untuk mengajukan
keberatan apabila hak-hak di atas diabaikan (right to appeal) baik melalui
administrasi maupun adjudikasi (menggunakan sarana pengadilan semu, arbitrasi
maupun pengadilan.
Selain itu keterbukaan
informasi memberi peluang rakyat untuk berpartisipasi dalam berbagai kebijakan
publik. Rakyat yang well - informed akan menjadi kekuatan dan actor dalam
proses penentuan dan pengawasan kebijakan publik. Hak itu didasarkan pada
pemikiran dan Pengalaman empirik bahwa : (1) Publik yang lebih banyak mendapat
informasi dapat berpartisipasi lebih baik dalam proses demokrasi; (2) Parlemen,
pers dan publik harus dapat dengan wajar mengikuti dan meneliti tindakan- tindakan
pemerintah; kerahasiaan adalah hambatan terbesar pada pertanggung jawaban
pemerintah; (3) Pegawai pemerintahan mengambil keputusan-keputusan penting yang
berdampak pada kepentingan publik; dan agar bertanggung jawab pemerintah harus
menyediakan informasi yang lengkap mengenai apa yang dikerjakan; (4) Arus
informasi yang lebih baik menghasilkan pemerintahan yang efektif dan membantu
pengembangan yang lebih fleksibel; (5) Kerjasama antara publik dan pemerintah
akan semakin erat karena informasi yang semakin banyak tersedia.
Informasi dapat digambarkan
sebagai oksigen dalam suatu negara demokrasi. Negara Demokrasi terkait dengan
pertanggungjawaban dan tata pemerintahan yang baik. Rakyat diharapkan dapat
berpartisipasi aktif dalam penyelenggaraan negara, oleh karena itu pemberian
hak kepada rakyat atas informasi merupakan tiang penyangga yang penting bagi
demokrasi. ( Effendi, Oktober 2005,
Ketersediaan Informasi, Yudistira, Bogor )
Kepentingan
umum, misi organisasi publik
Untuk menilai kinerja organisasi ini tentu saja diperlukan
indikator-indikator atau kriteria-kriteria untuk mengukurnya secara jelas.
Tanpa indikator dan kriteria yang jelas tidak akan ada arah yang dapat
digunakan untuk menentukan mana yang relatif lebih efektif diantara :
alternatif alokasi sumber daya yang berbeda; alternatif desain-desain
organisasi yang berbeda; dan diantara pilihan-pilihan pendistribusian tugas dan
wewenang yang berbeda (Bryson, 2002). Sekarang permasalahannya adalah kriteria
apa yang digunakan untuk menilai organisasi.
Sebagai sebuah
pedoman, dalam menilai kinerja organisasi harus dikembalikan pada tujuan atau
alasan dibentuknya suatu organisasi. Misalnya, untuk sebuah organisasi
privat/swasta yang bertujuan untuk menghasilkan keuntungan dan barang yang
dihasilkan, maka ukuran kinerjanya adalah seberapa besar organisasi tersebut
mampu. ( Gaffar, Oktober 2002, Kepentingan
Umum Misi Organisasi Politik, Ganeca, Bandung )
Kesimpulan
Sementara :
Informasi
merupakan salah satu bagian yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat di
dunia saat ini, terlebih jika kita tinggal dalam suatu negara demokrasi yang
mengenal adanya pengakuan terhadap kebebasan dalam memperoleh informasi bagi
rakyatnya. Tertutupnya kebebasan dalam memperoleh informasi dapat berdampak
pada banyak hal seperti rendahnya tingkat pengetahuan dan wawasan warga negara
yang pada akhirnya juga berdampak pada rendahnya kualitas hidup suatu bangsa.
Sementara itu dari segi penyelenggaraan pemerintahan, tidak adanya informasi
yang dapat diakses oleh publik dapat berakibat pada lahirnya pemerintahan yang
otoriter dan tidak demokratis.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kritik
dan Saran
3.1.1 Kritik
Bagi para pembaca dan rekan-rekan yang
lainnya, jika ingin menambah wawasan dan inginmengetahui lebih jauh, maka
penulis mengharapkan dengan rendah hati agar lebih membaca buku-buku
ilmiah dan buku-buku lainnya yang berkaitan dengan judul “Dampak dari penyelenggaraan
pemerintahan yang tidak transparan”
Kritik dan saran yang bersifat
membangun selalu kami harapkan demi perbaikan dankesempurnaan Makalah
kami.Jadikanlah makalah ini sebagai sarana yang dapat mendorong para mahasiswa/mahasiswi
berfikir aktif dan kreatif.
3.1.2
Saran
Tak ada gading yang tak retak, tak
ada yang sempurna di dunia ini, Kami segenap penulias tentunya sangatlah mengharapkan
kritik dan saran dari para pembaca, mengingat penyusunan makalah ini terasa
masih jauh dari kata sempurna.
Pada akhirnya, kami segenap
penyusun mengucapkan banyak Terima kasih atas partisipasi para pembaca, semoga
makalah ini dapat berguna di kemudian hari
3.2 Kesimpulan
Suatu pemerintahan atau kepemerintahan dikatakan
Transparan (terbuka), apabila dalam penyelenggaraan kepemerintahannya terdapat
kebebasan aliran informasi dalam berbagai proses kelembagaan sehingga mudah
diakses oleh mereka yang membutuhkan. Berbagai informasi telah disediakan
secara memadai dan mudah dimengerti, sehingga dapat digunakan sebagai alat
monitoring dan evaluasi. Kepemerintahan yang tidak transparan, cepat atau
lambat cendrung akan menuju kepemerintahan yang korup, otoriter, atau diktatur.
Dalam penyelenggaraan Negara, pemerintah dituntut
bersikap terbuka terhadap kebijakan-kebijakan yang dibuatnya termasuk anggaran
yang dibutuhkan dalam pelaksanaan kebijakan tersebut. Sehingga mulai dari
perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi terhadap kebijakan tersebut pemerintah
dituntut bersikap terbuka dalam rangka ”akuntabilitas public”.
Realitasnya kadang kebijakan yang dibuat pemerintah
dalam hal pelaksanaannya kurang bersikap ransparan, sehingga berdampak pada
rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap setiap kebijakan yang dibuat
pemerintah. Sebagai contoh, setiap kenaikan harga BBM selalu di ikuti oleh
demonstrasi “penolakan” kenaikan tersebut. Pada hal pemerintah berasumsi
kenaikan BBM dapat mensubsidi sector lain untuk rakyat kecil “miskin”, seperti
pemberian fasilitas kesehatan yang memadai, peningkatan sector pendidikan, dan
pengadaan beras miskin (raskin). Akan tetapi karena kebijakan tersebut
pengelolaannya tidka transparan bahkan sering menimbulkan kebocoran (korupsi),
rakyat tidak mempercayai kebijakan serupa dikemudian hari.
Jika penyelenggaraan pemerintahan dilakukan dengan tertutup dan tidak
transparan, secara umum akan berdampak pada tidak tercapainya kesejahteraan
masyarakat atau warga Negara. Sebagaimana tercantum dalam konstitusi Negara,
yaitu pencapaian masyarakat yang adil dan makmur.
Sedangkan secara khsusus, penyelenggaraan yang tidaktransparan akan
berdampak:
• Rendahnya atau bahkan tidak adanya kepercayaan warga Negara terhadap
pemerintahan
• Rendahnya partisipasi warga Negara terhadap kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintah
• Sikap apatis warga Negara dalam mengambil inisiatif dan peran yang berkaitan dengan kebijakan public
• Rendahnya partisipasi warga Negara terhadap kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintah
• Sikap apatis warga Negara dalam mengambil inisiatif dan peran yang berkaitan dengan kebijakan public
• Jika warga Negara apatis, ditunjang dengan rezim yang berkuasa sangat
kuatdan lemahnya fungsi legislative, KKN akan merajalela dan menjadi budaya
yang mendarah daging (nilai dominan)
• Krisis moral dan akhlak yang berdampak pada ketidakadilan, pelanggaran hukum dan hak asasi manusia
• Krisis moral dan akhlak yang berdampak pada ketidakadilan, pelanggaran hukum dan hak asasi manusia
Upaya menghindari penyelenggaraan pemerintahan yang
tidak transparan sehingga melahirkan “budaya” korupsi, kolusi dan nepotisme
(KKN) dapat dilakukan, anatara lain melalui jalur-jalur sebagai berikut:
1. Formal pemerintah/ kekuasaan
1. Formal pemerintah/ kekuasaan
2. Organisasi non-pemerintah dan media massa
3. Pendidikan dan masyarakat
Kondisi politik dan hukum secara
umum dapat digambarkan seperti berikut :
• Penguasa
yang ingin mempertahankan kekuasaannya sehingga melakukan perbuatan
“menghalalkan segala cara” demi ambisi dan tujuan politiknya
• Peralihan kekuasaan yang sering menimbulkan konflik, pertumpahan darah,
dan dendam antara kelompok di masyarakat
• Pemerintah mengabaikan proses demokratisasi, sehingga rakyat tidak
dapat menyalurkan aspirasi politiknya (saluran komunikasi tersumbat), maka
timbul gejolak politik yang bermuaran pada gerakan reformasi yang menuntut
kebebasan, kesetaraan, dan keadilan
• Pemerintahan yang sentralistis sehingga timbul kesenjangan dan
ketidakadilan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang sering
memunculkan konflik vertika, yaitu adanya tuntutan memidahkan diri dari Negara
• Penyalahgunaan kekuasaan karena lemahnya fungsi pengawasan internal dan
oleh lembaga perwakilan rakyat, serta terbatasnya akses masyarakat dan media
massa untuk mengkritisi kebijakan-kebijakan yang dilaksanakan
• Terabaikannya nilai-nilai agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa
sebagai sumber etika sehingga dikemudian hari melahirkan perbuatan tercela
antara lain berupaketidak adilan, pelanggaran hukum, dan pelanggaran hak asasi
manusia
• Sering terjadinya konflik social sebagai konsekuensi keberagaman suku,
agama, ras, dan golongan yang tidak dikelola dengan baik dan adil
• Perilaku ekonomi yang sarat dengan praktik korupsi, kolusi, dan
nepotisme, serta berpihak pada sekelompok pengusaha besar
• System politik yang otoriter sehingga para pemimpinnya tidak mampu lagi
menyerap aspirasi dan memperjuangkan kepentingan masyrakat
• Hukum telah menjadi alat kekuasaan sehingga pelaksanaannya banyak
bertentangan dengan prinsip keadilan, termasuk masalah hak warga Negara
dihadapan hukum
Informasi merupakan salah satu bagian yang sangat
penting bagi kehidupan masyarakat di dunia saat ini, terlebih jika kita tinggal
dalam suatu negara demokrasi yang mengenal adanya pengakuan terhadap kebebasan
dalam memperoleh informasi bagi rakyatnya. Tertutupnya kebebasan dalam
memperoleh informasi dapat berdampak pada banyak hal seperti rendahnya tingkat
pengetahuan dan wawasan warga negara yang pada akhirnya juga berdampak pada
rendahnya kualitas hidup suatu bangsa. Sementara itu dari segi penyelenggaraan
pemerintahan, tidak adanya informasi yang dapat diakses oleh publik dapat
berakibat pada lahirnya pemerintahan yang otoriter dan tidak demokratis.
DAFTAR
PUSTAKA
Sumber – sumber terkait:
http://wordpress.akibat penyelenggaraan pemerintaan yang tidak
transparan.com
http://okezone.upaya pencegahan terhadap penyelenggaraan
pemerintahan yang tidak transparan.com
http://wikipedia.dampak
penyelenggaraan pemerintahan yang tidak transparan.com
http://google.kondisi dalam bidang politik penyelenggaraan pemerintahan yang tidak
transparan.com
http://okezone.penyelenggaraan
pemerintahan yang tidak transparan.com
http://wikipedia.penyelenggaraan
pemerintahan yang tidak transparan.com
Vivi, Januari 2000, Informasi,
Ghalia Indonesia, Jakarta
Gaffar, Oktober 2002,
Kepentingan Umum Misi Organisasi Politik, Ganeca, Bandung
Effendi, Oktober 2005,
Ketersediaan Informasi, Yudistira, Bogor
Yuwanto, Juli 1997, Kondisi Hukum,
Ui Press, Bogor
Sumardjan, Februari, Kondisi
Politik, Rajawali, Jakarta
Harris, Oktober 2001, Politik
dan Hukum, LP3ES, Jakarta
Yuwanto, Oktober 1996, Pendidikan dan
Masyarakat, Undip, Semarang
Eko, Desember 1998, Media Massa, Pilar Daya
Ratma, Solo
Budi, Oktober 1999, Kekuasaan, Gramedia,
Jakarta
Suprapto, Oktober 2003, Akibat Korupsi, Bumi
Aksara, Jakarta
Joeniarto, Oktober 1989, Dampak pemerintahan
tertutup, Bina Aksara, Jakarta
Kanguwes, November 2007. Wordpress.com
Indarsi, Erlyn, Agustus 2006, Realitas
Kebijakan Pemerintah, Semarang
Sanit Arbi, September, 1998, Pemerinahan
Transparan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Huijbers Theo, Oktober 2006, Karakteristik
Pemerintahan, Yudistira, Bogor
Sumarsono, Oktober 2007, Pendidikan Kewarganegaraan,
Yudistira, Bogor
LAMPIRAN - LAMPIRAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar