:: Search ::

Kamis, 08 November 2012

Dampak dari penyelenggaraan pemerintahan yang tidak transparan


Dampak dari penyelenggaraan pemerintahan yang tidak transparan

TAHUN PELAJARAN
2011/2012
   

Mata pelajaran             : Pendidikan Kewarganegaraan
Kelas                              : XI ( Sebelas )
Program Keahlian                  : Teknik Pemesinan
       Kelompok                      : 4 ( Empat )
Dibina Oleh                           : Drs. Sujiono
Disusun Oleh              :
1.   M. Affandi            (22)
2.   M. Hari .S             (23)
3.   M. Imam Syafi’i     (24)
4.   Nizar Maulana      (25)
5.   Revi Sanjaya                  (26)
6.   Riski July D                    (27)
7.   Rozikan  A.S                  (28)

SMK MUHAMMADIYAH 1 KEPANJEN
TERAKREDITASI “A”
Jl. KH. Ahmad Dahlan No. 34 Telp. 0341 – 395451, 399269
 Fax. 0341 – 398768
KEPANJEN KABUPATEN MALANG
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan limpahan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul DAMPAK DARI PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN YANG TIDAK TRANSPARAN”.

Kami selaku penyusun makalah ini mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak-pihak yang telah membantu Saya dalam menyelesaikan makalah ini,
1.   Bapak Drs. Sujiono yang telah menuntun cara-cara membuat dan menyusun makalah ini.
2.  Teman-teman yang telah membantu menyelesaikan makalah ini.
Penyusun makalah ini menyadari bahwa makalah ini sangatlah kurang dari sempurna. Maka dari itu, penyusun mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi sempurnanya makalah ini.
Semoga makalah ini dapat berguna bagi generasi siswa dan siswi SMK Muhammadiyah 1 Kepanjen  juga para generasi muda serta bagi pembaca pada umumnya.
                                                                   
Malang, 22 Oktober 2011


                                                                       Tim penyusun







i

DAFTAR ISI

                                                                                                                          halaman
1). KATA PENGANTAR …………………………………………………           i

2). DAFTAR ISI .…..……….……….………..............................................           ii

3). BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………         6

3.1 Latar Belakang Masalah ……………..…………….……………..          6
3.2 Tujuan Pembahasan Masalah ……………….………………...…         12
3.2.1 Ingin mengetahui karakteristik pemerintahan yang
          tidak transparan ………………………...……………........          12
3.2.2 Ingin mengetahui akibat dari penyelenggaraan
          pemerintahan yang tidak transparan .................................          12
3.2.3 Ingin Mengetahui upaya pencegahan terhadap
penyelenggaraan pemerintahan yang tidak
transparan .............................................................................          12
3.2.4 Ingin mengetahui kondisi dalam bidang politik dan
          hukum pemerintahan yang tidak transparan …................          12


                                                    ii

3.2.5 Ingin mengetahui penyelenggaraan pemerintahan
          yang tidak transparan ………………………………….....           12
3.3 Tinjauan Teoritis Masalah………………………..……………...           13

4). BAB II Pembahasan Masalah ………………………………………..           24

4.1 Karakteristik pemerintahan yang tidak transparan ..................            24
4.2 Akibat dari penyelenggaraan pemerintahan yang tidak
      transparan ……………………………………………………….             27
4.3 Upaya pencegahan terhadap penyelenggaraan pemerintahan
yang tidak transparan ……………….........................................            39
4.4 Kondisi dalam bidang politik dan hukum pemerintahan
      yang tidak transparan …………………………………………..             41
4.5 Penyelenggaraan pemerintahan yang tidak transparan …..…             47

5). BAB III Penutup …………………………………………………….              55

5.1 Kritik dan Saran …………….…..………..…………………….             55
5.1.1 Kritik ……………………………………………………..              55
5.1.2 Saran ……………………………………………………..              55
5.2 Kesimpulan ……………………………………………………...             56
ii

6). Daftar Kepustakaan ………….…...………………………………….             iii
7). Daftar Lampiran……………………………………………...            Iv



















ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1        Latar Belakang
Informasi merupakan salah satu bagian yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat di dunia saat ini, terlebih jika kita tinggal dalam suatu negara demokrasi yang mengenal adanya pengakuan terhadap kebebasan dalam memperoleh informasi bagi rakyatnya. Tertutupnya kebebasan dalam memperoleh informasi dapat berdampak pada banyak hal seperti rendahnya tingkat pengetahuan dan wawasan warga negara yang pada akhirnya juga berdampak pada rendahnya kualitas hidup suatu bangsa. Sementara itu dari segi penyelenggaraan pemerintahan, tidak adanya informasi yang dapat diakses oleh publik dapat berakibat pada lahirnya pemerintahan yang otoriter dan tidak demokratis.
Pada dasarnya, pemerintahan di negara-negara demokrasi telah menyadari bahwa terciptanya keterbukaan dalam memperoleh informasi bagi publik dapat memberikan dampak positif bagi kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan hukum di negaranya. Keterbukaan informasi dalam penyelenggaraan pemerintahan juga merupakan salah satu wujud komitmen pemerintah dalam melaksanakan prinsip-prinsip good governance dan demokratisasi pemerintahan, di mana salah satu butir di antara butir-butir good governance adalah adanya keterbukaan pemerintah (transparency) kepada masyarakat.
Keterbukaan akses informasi bagi publik di sisi lain juga dapat menjadi salah satu alat penunjang kontrol masyarakat atas kinerja pemerintah ataupun unit-unit kerjanya. Dalam konteks bidang keamanan dan pertahanan, setiap negara demokrasi juga membuka ruang-ruang tersedianya informasi yang dapat diakses masyarakat. Hal ini dimaksudkan agar hak-hak warga negara tetap terjaga dan tidak terenggut. Di samping itu, adanya keterbukaan memperoleh informasi juga dapat menjadikan aktor pertahanan menjadi lebih profesional selalu bertindak dengan berdasarkan hukum.
Sebagai sebuah negara yang demokratis, Indonesia juga tentunya harus tetap memandang bahwa kebebasan memperoleh informasi bagi publik merupakan suatu hal yang pada dasarnya harus tetap dijaga. Adapun terkait beberapa hal yang sifatnya "rahasia" di mana di dalamnya terdapat hal-hal yang sensitif terutama menyangkut persoalan kedaulatan negara haruslah dapat didefinisikan dengan jelas dan tetap mengacu pada Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik.
Selama masa pemerintahan Orde Baru, keterbukaan untuk memperoleh informasi sangat dibatasi pemerintah. Bahkan, beberapa media yang sangat kritis dan lugas dalam menyajikan informasi dengan sangat mudah dibekukan pemerintah. Dengan alasan kerahasiaan, pemerintah Orde Baru banyak mengotrol berbagai informasi yang akan keluar dan diterima masyarakat sehingga sangat wajar apabila informasi yang akan disajikan media harus melewati pengawasan yang ketat. Hal ini tentunya dimaksudkan agar tidak terjadi gejolak perlawanan di dalam masyarakat.
Tertutupnya pintu untuk memperoleh informasi juga sangat berdampak negatif pada lemahnya jaminan kepastian hukum dan perlindungan HAM bagi masyarakat, pemerintahan pun pada akhirnya menjadi pemerintahan yang otoriter sehingga sangat wajar apabila berbagai kalangan berpendapat bahwa pada masa Orde Baru banyak sekali
terjadi kasus penculikan aktivis yang sangat vokal mengkritisi kebijakan pemerintah. Dengan mengatasnamakan keamanan dan rahasia negara, pemerintah Orde Baru juga telah menafsirkan sifat kerahasiaan negara demi kepentingan dan keberlangsungan kekuasaannya sehingga mengakibatkan banyak pihak yang menjadi khawatir dengan setiap tindakan dan ucapan mereka karena selalu diintai.
Sifat rahasia negara yang ditafsirkan dan diimplementasikan oleh pemerintahan Orde Baru untuk menghalang-halangi kebebasan memperoleh informasi, pada dasarnya juga menyeret aktor pertahanan dan keamanan pada posisi yang tidak profesional sehingga ketika kita berbicara mengenai rahasia negara dan kebebasan memperoleh informasi, pada saat ini, tidak akan terlepas pula dari proses reformasi di bidang pertahanan dan keamanan.
Jatuhnya tampuk kekuasaan Orde Baru telah membuka harapan bagi kehidupan bernegara yang lebih demokratis, dan keterbukaan pemerintah terhadap masyarakat menjadi salah satu tuntutan dalam agenda perjuangan reformasi. Keterbukaan pemerintah kepada masyarakat merupakan suatu hal yang memang sudah selayaknya dilakukan sejak dahulu sebab Indonesia adalah negara yang menganut sistem demokrasi, sebuah negara demokrasi yang lahir dari kedaulatan rakyat sehingga kedaulatan sepenuhnya berada di tangan rakyat. Oleh karena itu, pemerintah wajib bersikap transparan kepada rakyatnya.
Negara Indonesia yang ingin mensejahterakan seluruh rakyat perlu mengimplementasikan formulasi pembentukan negara dalam kosepnya yang terkenal Kontrak Sosial (Du Contract social ou principes du droit politique) yang dibuat pada tahun 1762 oleh Jean Jacques Rousseau (1712-1778). Rousseau melihat hubungan individu dengan negara haruslah didasari pada sebuah kesepakatan untuk bernegara sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan bersama. Kesepakatan yang penting harus dipenuhi adalah tentang hak dan kewajiban.
Dalam uraiannya, Rousseau menekankan pentingnya istilah volente generale (kehendak umum) yang merupakan cikal bakal lahirmya masyarakat sipil. Sebuah negara haruslah didasarkan pada kesepakatan umum yang jika dilanggar akan mengakibatkan ketidakadilan. Konsep ketidakadilan, dengan sendirinya membubarkan kesepakatan umum dan juga kontrak sosial.
Konstitusi (UUD) pada hekakatnya merupakan kontrak sosial dalam kehidupan bernegara. Pasal 28 F pada prinsipnya memberikan hak pada setiap orang untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi. Hak tersebut selain diatur dalam pasal tersebut, juga jauh sebelumnya sudah ditetapkan PBB melalui resolusi 59 ayat 1 Tahun 1946 dan Internasional Cevenant on Civil and Political Rights 1966 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB pasal 19 yang menegaskan bahwa hak atas informasi merupakan hak asasi dan hak konstitusional sehingga wajib dilindungi oleh negara.
Dunia sekarang sudah memasuki Era Informasi, dimana informasi adalah kekuasaan ("from brown to brain"). Telah terjadi suatu Powershift, kata Alvin Toffler. Era informasi ini sejalan dengan demokratisasi, pengurangan dominasi pemerintah, pemajuan
Hak atas informasi tersebut meliputi : (1). Hak publik untuk memantau atau mengamati perilaku pejabat publik dalam menjalankan fungsi publiknya (right to observe); (2). Hak publik untuk mendapatkan/mengakses informasi (public access to information); (3). Hak publik untuk berpartisipasi dalam proses pembentukan kebijakan (right to participate); (4). Kebebasan berekspresi yang salah satunya diwujudkan kebebasan pers (free and responsible pers); (5). Hak publik untuk mengajukan keberatan apabila hak-hak di atas diabaikan (right to appeal) baik melalui administrasi maupun adjudikasi (menggunakan sarana pengadilan semu, arbitrasi maupun pengadilan.
Selain itu keterbukaan informasi memberi peluang rakyat untuk berpartisipasi dalam berbagai kebijakan publik. Rakyat yang well - informed akan menjadi kekuatan dan actor dalam proses penentuan dan pengawasan kebijakan publik. Hak itu didasarkan pada pemikiran dan Pengalaman empirik bahwa : (1) Publik yang lebih banyak mendapat informasi dapat berpartisipasi lebih baik dalam proses demokrasi; (2) Parlemen, pers dan publik harus dapat dengan wajar mengikuti dan meneliti tindakan- tindakan pemerintah; kerahasiaan adalah hambatan terbesar pada pertanggung jawaban pemerintah; (3) Pegawai pemerintahan mengambil keputusan-keputusan penting yang berdampak pada kepentingan publik; dan agar bertanggung jawab pemerintah harus menyediakan informasi yang lengkap mengenai apa yang dikerjakan; (4) Arus informasi yang lebih baik menghasilkan pemerintahan yang efektif dan membantu pengembangan yang lebih fleksibel; (5) Kerjasama antara publik dan pemerintah akan semakin erat karena informasi yang semakin banyak tersedia.
Informasi dapat digambarkan sebagai oksigen dalam suatu negara demokrasi. Negara Demokrasi terkait dengan pertanggungjawaban dan tata pemerintahan yang baik. Rakyat diharapkan dapat berpartisipasi aktif dalam penyelenggaraan negara, oleh karena itu pemberian hak kepada rakyat atas informasi merupakan tiang penyangga yang penting bagi demokrasi.
Kepentingan umum, misi organisasi publik
Untuk menilai kinerja organisasi ini tentu saja diperlukan indikator-indikator atau kriteria-kriteria untuk mengukurnya secara jelas. Tanpa indikator dan kriteria yang jelas tidak akan ada arah yang dapat digunakan untuk menentukan mana yang relatif lebih efektif diantara : alternatif alokasi sumber daya yang berbeda; alternatif desain-desain organisasi yang berbeda; dan diantara pilihan-pilihan pendistribusian tugas dan wewenang yang berbeda (Bryson, 2002). Sekarang permasalahannya adalah kriteria apa yang digunakan untuk menilai organisasi.
Sebagai sebuah pedoman, dalam menilai kinerja organisasi harus dikembalikan pada tujuan atau alasan dibentuknya suatu organisasi. Misalnya, untuk sebuah organisasi privat/swasta yang bertujuan untuk menghasilkan keuntungan dan barang yang dihasilkan, maka ukuran kinerjanya adalah seberapa besar organisasi tersebut mampu
1.2        Tujuan Pembahasan Masalah
1.2.1              Ingin mengetahui karakteristik pemerintahan yang tidak transparan (tertutup)
1.2.2              Ingin mengetahui akibat dari penyelenggaraan pemerintahan yang tidak transparan
1.2.3              Ingin mengetahui upaya pencegahan terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang tidak transparan

1.2.4       Ingin mengetahui kondisi dalam bidang politik dan hukum pemerintahan yang tidak transparan

1.2.5              Ingin mengetahui penyelenggaraan pemerintahan yang tidak transparan
1.3    Tinjauan Teoritis Masalah
        
  1. Pengertian Pemerintah dan Pemerintahan
Istilah pemerintah (Government) dapat dibedakan dengan pemerintahan (governing). Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata Pemerintah berarti Lembaga atau orang yang bertugas mengatur dan memajukan Negara dengan rakyatnya. Sedangkan Pemerintahan adalah hal cara, hasil kerja memerintah, mengatur Negara dengan rakyatnya. Pemerintah dalam arti organ merupakan alat kelengkapan pemerintahan yang melaksanakan fungsi Negara. Dalam organ, pemerintah dapat dibedakan baik dalam arti luas maupun dalam arti sempit.
Adalah suatu pemerintah yang berdaulat sebagai gabungan semua badan atau lembaga kenegaraan yang berkuasa dan memerintah di wilayah suatu Negara meliputi badan eksukutif, legislative, dan yudikatif
Adalah suatu pemerintah yang berdaulat sebagai badan atau lembaga yang mempunyai wewenang melaksanakan kebijakan Negara (eksekutif) yang terdiri dari Presiden, wwkil presiden, dan para menteri (kabinet)
Dewasa ini, sudah banyak Negara yang meninggalkan pola penyelenggaraan pemerintah tradisional yang lebih menekan perspektif hubungan yang bersifat “top-down” , atau pendekatan “aturan-aturan rasional” (Rule-Central-rule Approach). pemerintahan sekarang mulai menyadari pentingnya peran swasta dan masyarakat untuk secara bersama-sama mewujudkan tujuan nasional secara kolaboratif, sehingga terjadi perubahan paradigma dimana pola-pola yang dikembangkan lebih banyak “bottom-up” dan kemitraan. Untuk lebih jelasnya perubahan paradigma dan pengaruhnya terhadap hubungan antara pemerintah, swasta dan masyarakat dapat dilihta pada gambar dibawah ini:
Government Governance ( Sumarsono, Oktober 2007, Pendidikan Kewarganegaraan, Yudistira, Bogor )
2. Karakteristik Pemerintahan
Dalam masyarakat modern atau post-modern dewasa ini, pola pemerintahan yang dapat dikembangkan sesuai dengan karakteristiknya masing-masing adalah sebagai berikut:
a. Kompleksitas
Dalam menghadapi kondisi yang kompleks, pola penyelenggaraan pemerintahan perlu ditekankan pada fungsi koordinasi dan komposisi
b. Dinamika
Dalam hal ini pola pemerintahan yang dapat dikembangkan adalah pengaturan atau pengendalian (steering) dan kolaborasi (pola interaksi saling mengendalikan diantara berbagai actor yang terlibat dan atau kepentingan dalam bidang tertentu)
c. Keanekaragaman
Masyarakat dengan berbagai kepentingan yang beragam dapat diatasi dengan pola penyelenggaraan pemerintahan yang menekankan pengaturan (regulation) dan integrasi atau keterpaduan (integration)
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa penyelenggaraan pemerintahan (Governing) dapat dipandang sebagai “Intervensi prilaku politik dan social yang berorientasi hasil, yang diarahkan untuk menciptakan pola interaksi yang stabil atau dapat diprediksikan dalam suatu system (sosial-politik), sesuai dengan harapan ataupun utjuan dari para pelaku intervensi tersebut”. ( Rahma, Oktober 2000, Pendidikan Kewarganegaraan, Pilar Daya Ratma, Solo )
3. Konsepsi Kepemerintahan (Governance)
Kepemerintahan atau Governance merupakan tindakan, fakta, pola kegiatan atau penyelenggaraan pemerintahan. Menurut Kooiman, Kepemerintahan lebih merupakan serangkaian proses interaksi social politik antara pemerintah dengan masyarakat dalam berbagai bidang yang berkaitan dengan kepentingan masyrakat dan intervensi pemerintahan atas kepentingan-kepentingan tersebut. Sedangkan dalam pandangan Pinto, istilah “governance” mengandung arti : Praktek penyelenggaraan kekuasaan dan kewenangan oleh pemerintah dalam pengelolaan urusan pemerintahan secara umum, dan pembangunan ekonomi khususnya.
Kooiman memandang sebagai sebuah struktur yang muncul dalam system sosial-politik yang merupakan hasil dari tindakan intervensi interaktif diantara berbagai actor yang telibat. Sesuai dengan karakteristik interaksi antara pemerintah dan masyrakat yang cenderung bersifat plural, konsepsi tersebut tidak hanya dibatasi pada salah satu unsure pelaku atau kelompok pelaku tertentu. Sebagaiman dinyatakan Marin dan Mayntz, kepemerintahan politik dalam masyarakat modern tidak bisa lagi dipandang sebagai pengendalian pemerintahan terhadap masyarakat, tetapi muncul dari pluralitas pelaku penyelenggaraan pemerintahan. ( Sumardi Budi, Oktober 2006, Pendidikan Kewarganegaraan, Yudistira, Bogor )
4. Aktor dalam Kepemerintahan
Dalam penyelenggaraan kepemerintahan disuatu Negara, terdapat 3 (tiga) omponen besar yang harus diperhatikan, karena peran dan fungsinya yang sangat berpengaruh dalam menentukan maju mundurnya pengelolaan Negara, yaitu:
a. Negara dan Kepemerintahan
Yaitu merupakan keseluruha lembaga politik dan sector public. Peran dan tanggungjawabnya adalah dibidang hukum, pelayanan public, desentralisasi, transparansi umum dan Pemberdayaan masyrakat, penciptaan pasar yang kompetitif, membangun lingkungan yang kondusif bagi tercapainya tujuan pembangunan baik pada level local, nasional, maupun internasional.
b. Sector swasta
yaitu perusahaan swasta yang aktif dalam interaksi system pasar, sperti: industri, perdagangan, perbankan, dan koperasi sector informal. Peranannya adalah meningkatkan produktifitas, menyerapk tenaga kerja, mengembangkan sumber penerimaan Negara, investasi, pengembangan dunia usaha, dan pertumbuhan ekonomi nasional.

c. Masyarakat Madani
Kelompok masyrakat yang berinteraksi secara social, politik dan ekonomi. Dalam konteks kenegaraan, masyarakat merupakan subjek pemerintahan, pembangunan, dan pelayan public yang berinteraksi secara social, politik dan ekonomi. Masyarakat harus diberdayakan agar berperan aktif dalam medukung terwujudnya kepemerintahan yang baik. ( Arifin Firmansyah, Juli 2000, Aktor dalam Kepemerintahan, Bogor )
5. Kepemerintahan yang Baik (Good Governance)
a. Pengertian
Terminology “good” dalam istilah good governance mengandung dua pengertian. Pertama: nilai-nilai yang menjunjung tinggi keinginan/kehendak rakyat dan nilai-nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat dalam pencapaian tujuan (nasional), kemadirian, pembangunan berkelanjutan, dan keadilan social.
Kedua : aspek-aspek fungsional dari pemerintahan yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.
Berdasarkan pengertian tersebut, kepemerintahan yang baik berorientasi pada 2 (dua) hal, yaitu:
• Orientasi Ideal Negara
Yang diarahkan pada pencapaian tujuan nasional, yaitu mengacu pada demoratis dengan elemen: legitimacy, accountability, otonomi dan devolusi (pendelegasian wewenang) kekuasaan kepada daerah dan adanya mekanisme control oleh masyarakat

• Pemerintahan yang Befungsi secara Ideal
Yaitu secara efektif dan efisien melakukan upaya pencapaian tujuan nasional. Hal ini tergantung pada sejauh mana pemerintah memiliki kompetensi, struktur dan mekanisme politik serta administrative yang berfungsi secara efektif dan efisien.
Berikut ini adalah beberapa pendapat atau pandangan tentang wujud kepemerintahan yang baik ( good governance), yaitu:
• World Bank (2000)
Good governance adalah suatu penyelenggaaan manajemen pemerintahan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi korupsi, baik secara politik maupun administrative, menjalankan disiplin anggaran penciptaan legal dan political framework bagi tumbuhnya aktifitas swasta.
• UNDP
Memberikan pengertian Good Governance sebagai suatu hubungan yang sinergis dan konstruktif di antara Negara, sector swasta dan masyarakat
• Peraturan Pemerintah No. 101 Tahun 2000
Kepemerintahan yang baik adalah kepemerintahan yang mengembangkan dan menerapkan prinsip-prinsip prifesionalitas, akuntabilitas, transparansi, pelayanan prima, demokrasi, efisiensi, efektifitas, supremasi hukum dan dapat diterima oleh seluruh masyrakat
• Modul Sosialisasi AKIP (LAN & BPKP 2000)
Good Governance merupakan proses penyelenggaraan kekuasaan Negara; oleh sebab itu, melaksanakan penyediaan Public goods dan services. Good Governance yang efektif menuntut adanya “alignment “ (koordinasi) yang baik dan integritas, profesionalisme serta etos kerja dan moral yang tinggi. Agar kepemerintahan yang baik menjadi realitas dan berhasil diwujudkan, diperlukan komitmen dari semua pihak, pemerintah, dan masyrakat.

Dari beberapa pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa Good Governance bersenyawa dengan system administrative Negara, maka upaya untuk mewujudkan kepemerintahan yang baik merupakan upaya melakukan penyempurnaan system administrasi Negara yang berlaku pada suatu Negara secara menyeluruh. Dalam kaitan dengan ini Bagir Manan menyatakan bahwa “sangat wajar apabila tuntutan penyelenggaraan pemerintahan yang baik terutama ditujukan pada pembaruan administrasi Negara dan pembaruan penegakan hukum”
Hal ini dikemukakan karena dalam hubungan dengan pelayanan dan perlindungan rakyat ada dua cabang pemerintahan yang berhubungan langsung dengan rakyat, yaitu administrasi Negara dan penegak hukum.
c. Aspek-Aspek Good Governance
Dari sisi pemerintah (government), Good Governance dapat dilihat melalui aspek-aspek sebagai berikut:
• Hukum/Kebijakan
Merupakan aspek yang ditujukan pada perlindungan kebebasan
• Administrative competence and transparency
Kemampuan membuat perencanaan dan melakukan implementasi secara efisien, kemampuan melakukan penyederhanaan organisasi, penciptaan disiplin, dan model administrative keterbukaan informamsi
• Desentralisasi
Desentralisasi regional dan dekonsentrasi di dalam departemen
• Penciptaan pasar yang Kompetitif
Penyempurnaan mekanisme pasar, peningkatan peran pengusaha kecil, dan segmen lain dalam sector swasta, deregulasi dan kemampuan pemerintahan melakukan control terhadap makro ekonomi
c. Karakteristik Kepemerintahan yang baik menurut UNDP (1997)
UNDP mengemukakan bahwa karakteristik atau prinsip-prinsipnya yang harus dianut dan dikembangkan dalam praktek penyelenggaraan kepemerintahan yang baik, mencakup:
1) Partisipasi (Participation)
Keikutsertaan amsyarakat dalam proses pembuatan keputusan, kebebasan berserikatdan berpendapat, serta kebebasan untuk berpartisipasi secara konstruktif
2) Aturan Hukum (rule of law)
Hukum harus adil tanpa pandang bulu, ditegakkan dan dipatuhi secara utuh (impartially) terutama aturan hukum tentang hak-hak manusia
3) Transparan (Transparency)
adanya kebebasan aliran informasi dalam berbagai proses kelembagaan sehingga mudah diakses oleh mereka yang membutuhkan. Informasi harus disediakan secara memadai dan mudah dimengerti, sehingga dapat digunakan sebagai alat monitoring dan evaluasi
4) Daya Tanggap (Responsiveness)
Setiap institusi prosesnya harus diarahkan pada upaya untuk melayani berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholders)
5) Berorientasi Konsensus (Consensus Orientation)
Bertindak sebagai mediator bagi berbagai kepentingan yang berbeda untuk mencapai kesepakatan. Jika dimungkinkan, dapat diberlakukan terhadap berbagai kebijakan dan prosedur yang akan ditetapkan pemerintah
6) Berkeadilan (equity)
Memberikan kesempatan yang sama baik terhadap laki-laki maupun perempuan dalam upaya meningkatkan dan memelihara kualitas hidupnya
7) Efektivitas dan efisiensi (effectiveness and efficience)
Segala proses dan kelembagaan dirahkan untuk menghasilkan sesuatu yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan melalui pemanfaatan yang sebaik-baiknya berbagai sumber yang tersedia
8) Akuntabilitas (accountability)
Para pengambil keputusan (pemerintah, swasta dan masyarakat madani) memilik pertanggung jawaban kepada public sesuai dengan keputusan baik internal maupun eksternal
9) Bervsisi Strategis (Strategic Vision)
Para pemimpin masyarakat dan memiliki perspektif yang luas dan jangka panjang dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan manusia dengan memahami aspek-aspek histories, cultural, dan kompleksitas social yang mendasari perspektif mereka
10) Saling Keterkaitan (interrelated)
Adanya saling memperkuat dan terkait (mutually reinforching) dan tidak bisa berdiri sendiri
Sedangkan dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia pasca gerakan reformasi nasional, prisnip-prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik tertera dalam Undang-Undang No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Dalam pasal 3 dan penjelsannya ditetapkan asas-asas umum pemerintahan yang mencakup:
1) Asas Kepastian Hukum
Yaitu asas dalam Negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan Negara
2) Asas Tertib Penyelenggaraan Negara
Adalah asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan Negara
3) Asas Kepentingan Umum
Adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif
4) Asas Keterbukaan
Adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan Negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia Negara
5) Asas Proporsionalitas
Adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggaraan Negara
6) Asas Profesionalitas
Yaitu asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundnag-undangan yang berlaku
7) Asas Akuntabilitas
Adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir kegiatan penyelenggaraan Negara harus dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. ( Eko Marsudi, Oktober 2006, Kepemerintahan yang Baik, Pilar Daya Ratma, Solo )
Kesimpulan Sementara :
Istilah pemerintah (Government) dapat dibedakan dengan pemerintahan (governing). Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata Pemerintah berarti Lembaga atau orang yang bertugas mengatur dan memajukan Negara dengan rakyatnya. Sedangkan Pemerintahan adalah hal cara, hasil kerja memerintah, mengatur Negara dengan rakyatnya.
Pemerintah dalam arti organ merupakan alat kelengkapan pemerintahan yang melaksanakan fungsi Negara. Dalam organ, pemerintah dapat dibedakan baik dalam arti luas maupun dalam arti sempit.
Adalah suatu pemerintah yang berdaulat sebagai gabungan semua badan atau lembaga kenegaraan yang berkuasa dan memerintah di wilayah suatu Negara meliputi badan eksukutif, legislative, dan yudikatif
Adalah suatu pemerintah yang berdaulat sebagai badan atau lembaga yang mempunyai wewenang melaksanakan kebijakan Negara (eksekutif) yang terdiri dari Presiden, wakil presiden, dan para menteri (kabinet)

           
BAB II
PEMBAHASAN MASALAH

2.1 Karakteristik Pemerintahan Yang Tidak Trasparan (tertutup)
Apabila ditinjau dari segi hukum, yaitu konstitusi maka secara umum semua memang tidak akan bisa membedakan pemerintahan suatu negara adalah tertutup. Hal ini karena secara umum negara di dunia sekarang adalah negara hukum dan menganut demokrasi dengan coraknya masing-masing. Namun, apabila dilihat dari perilaku dan  kebijakan pemerintahannya maka dapat dianalisis apakah pemerintahan itu tertutup atau terbuka.
Secara praktik, perilaku dan kebijakan pemerintah adalah cenderung bersifat otoriter dan dictator. Adapun secara definitif, karakater pemerintahan tertutup tersebut adalah sebagai berikut.
1)    Budaya politik secara personal dan kelembagaan negara cenderung elitis dan   
     eksklusif
2)    Kekuasaan ekonomi terpusat pada golongan elite politik
3)    Penyelesaian politik cenderung secara kekerasan
4)    Kebijakan politik pemerintah cenderung bersifat mendikte
5)    Pengadilan tidak bebas dan bersifat memihak
6)    Kegiatan organisasi politikdibatasi
7)    Kebebasan pers sangat dikebiri
8)    Pengambilan kebijakan negara cenderung sentralistik atau Top Down.

Demikianlah beberapa karakteristik penyelenggaraan pemerintahan tertutup. Apabila dikaitkan dengan corak pemerintahan yang pernah ada di Indonesia, yaitu zaman Orde Lama dan Orde Baru maka kita dapat menyimpulkan bahwa penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia cenderung tertutup. Hal ini terkait dengan adanya pembatasan terhadap ruang gerak pilar-pilar demokrasi (kedaulatan rakyat), yaitu partai politik, pers, dan lembaga sosial (kelompok kepentingan dan kelompok penekan). ( Sumarsono, Oktober 2007, Pendidikan Kewarganegaraan, Yudistira, Bogor )

Dalam masyarakat modern atau post-modern dewasa ini, pola pemerintahan yang dapat dikembangkan sesuai dengan karakteristiknya masing-masing adalah sebagai berikut:
a. Kompleksitas
Dalam menghadapi kondisi yang kompleks, pola penyelenggaraan pemerintahan perlu ditekankan pada fungsi koordinasi dan komposisi
b. Dinamika
Dalam hal ini pola pemerintahan yang dapat dikembangkan adalah pengaturan atau pengendalian (steering) dan kolaborasi (pola interaksi saling mengendalikan diantara berbagai actor yang terlibat dan atau kepentingan dalam bidang tertentu)
c. Keanekaragaman
Masyarakat dengan berbagai kepentingan yang beragam dapat diatasi dengan pola penyelenggaraan pemerintahan yang menekankan pengaturan (regulation) dan integrasi atau keterpaduan (integration)
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa penyelenggaraan pemerintahan (Governing) dapat dipandang sebagai “Intervensi prilaku politik dan social yang berorientasi hasil, yang diarahkan untuk menciptakan pola interaksi yang stabil atau dapat diprediksikan dalam suatu system (sosial-politik), sesuai dengan harapan ataupun utjuan dari para pelaku intervensi tersebut”. ( Huijbers Theo, Oktober 2006, Karakteristik Pemerintahan, Yudistira, Bogor )
Suatu pemerintahan atau kepemerintahan dikatakan Transparan (terbuka), apabila dalam penyelenggaraan kepemerintahannya terdapat kebebasan aliran informasi dalam berbagai proses kelembagaan sehingga mudah diakses oleh mereka yang membutuhkan. Berbagai informasi telah disediakan secara memadai dan mudah dimengerti, sehingga dapat digunakan sebagai alat monitoring dan evaluasi. Kepemerintahan yang tidak transparan, cepat atau lambat cendrung akan menuju kepemerintahan yang korup, otoriter, atau diktatur.
Dalam penyelenggaraan Negara, pemerintah dituntut bersikap terbuka terhadap kebijakan-kebijakan yang dibuatnya termasuk anggaran yang dibutuhkan dalam pelaksanaan kebijakan tersebut. Sehingga mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi terhadap kebijakan tersebut pemerintah dituntut bersikap terbuka dalam rangka ”akuntabilitas public”. ( Sanit Arbi, September, 1998, Pemerinahan Transparan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta )

Realitasnya kadang kebijakan yang dibuat pemerintah dalam hal pelaksanaannya kurang bersikap ransparan, sehingga berdampak pada rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap setiap kebijakan yang dibuat pemerintah. Sebagai contoh, setiap kenaikan harga BBM selalu di ikuti oleh demonstrasi “penolakan” kenaikan tersebut. Pada hal pemerintah berasumsi kenaikan BBM dapat mensubsidi sector lain untuk rakyat kecil “miskin”, seperti pemberian fasilitas kesehatan yang memadai, peningkatan sector pendidikan, dan pengadaan beras miskin (raskin). Akan tetapi karena kebijakan tersebut pengelolaannya tidka transparan bahkan sering menimbulkan kebocoran (korupsi), rakyat tidak mempercayai kebijakan serupa dikemudain hari. ( Indarsi, Erlyn, Agustus 2006, Realitas Kebijakan Pemerintah, Semarang )
Kesimpulan Sementara :
Secara praktik, perilaku dan kebijakan pemerintah adalah cenderung bersifat otoriter dan dictator. Adapun secara definitif, karakater pemerintahan tertutup tersebut adalah sebagai berikut.
1)   Budaya politik secara personal dan kelembagaan negara cenderung elitis dan eksklusif
2)    Kekuasaan ekonomi terpusat pada golongan elite politik
3)    Penyelesaian politik cenderung secara kekerasan
4)    Kebijakan politik pemerintah cenderung bersifat mendikte
5)    Pengadilan tidak bebas dan bersifat memihak
6)    Kegiatan organisasi politikdibatasi
7)    Kebebasan pers sangat dikebiri
8)    Pengambilan kebijakan negara cenderung sentralistik atau Top Down.

2.2 Akibat Dari Penyelenggaraan Pemerintah Yang Tidak Transparan
Ketertutupan para penyelenggara Negara membuat sesuatu menjadi kabur, sehingga peluang peyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah sangatlah memungkinkan.Dan kenyataan inilah yang saat ini terjadi dalam pemerintahan kita. Lihat saja bagaimana praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang di lakukan oleh oknum pemerintah begitu tertutup rapih dan seolah-olah menjadi budaya dikalangan elit politik. Sungguh kenyataan yang sangat ironis dan memprihatinkan.
Dan akibat ketertutupan inilah partisipasi masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintah semakin kecil. Apabila hal ini terus berlangsung, dan para penyelenggara pemerintahan semakin menyalahgunakan kekuasaannya, maka dapat dipastikan  bahwa pemerintahan Negara semakin tidak dipercaya oleh masyarakat. Bisa dibayangkan seandainya hal ini terjadi. Bila suatu pemerintah sudah kehilangan kepercayaan dari masyarakat, berbagai unjuk rasa, penentangan, kerusuhan massal yang akhir-akhir ini merebak, tidak dapat dielakan. Kita lihat di laoangan bagaimana oknum pemerintah melakukan penggusuran secara paksa terhadap Rakyat kecil. Para pedagang kaki lima yang digusur secara paksa. Dimanakah letak keadilan? masihkah ada hati nurani dari para pemegang kekuasaan. Sekali lagi dimanakah letak sebuah keadilan?
Sementara tujuan Negara kita adalah terpenuhinya keadilan bagi rakyat Indonesia, sesuai pembukaan UUD 1945 , bahwa Negara yang hendak didirikan  adalah Negara Indonesia yang adil dan makmur dan bertujuan menciptakan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia. Pesan yang terkandung dalam UUD 1945 inilah yang seharusnya menjadi pedoman dan pemicu semangat bagi para penyelengara Negara bahwa tugas utamanya adalah menciptakan keadilan. Ketidakadilan merupakan sumber perpecahan sebuah bangsa. Adanya pertentangan, kerusuhan missal, aksi-aksi demo, dan pergolakan di suatu wilayah, salah satu sumbernya adalah ketidakadilan.
Sementara para penyelenggara pemerintah menikmati kekayaan yang mereka tumpuk, rakyat kecil semakin terpuruk. Apa sebenarnya demokrasi itu? “Dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.”  Apakah hal ini hanya dijadikan kedok untuk menutupi kebobrokan pemerintah kita saat ini? kekuasaan yang dimiliki oleh pemerintah sesungguhnya adalah  suatu amanat yang harus dijalankan dengan kejujuran oleh para penyelenggara pemerintahan.
Hilangnya kepercayaan yang nantinya dapat berujung pada rasa saling curiga dari masyarakat terhadap pemerintah, dapat mengancam stabilitas nasional. Untuk itu perlu di bangun dan di bina sikap saling keterbukaan antara penyelenggara pemerintahan dan rakyat. Dengan adanya keterbukaan inilah dapat melahirkan komunikasi yang akan menumbuhkan kepercayaan dan mengatasi rasa saling curiga dengan demikian  suatu kehidupan yang yang menjadi tujuan Negara Indonesia sebagaimana yang tertuang dalam UUD 1945 dapat terwujud.tentunya hal inilah yang selama ini kita idamkan. (Kanguwes, November  2007. Wordpress.com)
Jika penyelenggaraan pemerintahan dilakukan dengan tertutup dan tidak transparan, secara umum akan berdampak pada tidak tercapainya kesejahteraan masyarakat atau warga Negara. Sebagaimana tercantum dalam konstitusi Negara, yaitu pencapaian masyarakat yang adil dan makmur.
Sedangkan secara khsusus, penyelenggaraan yang tidak transparan akan berdampak:
• Rendahnya atau bahkan tidak adanya kepercayaan warga Negara terhadap pemerintahan
• Rendahnya partisipasi warga Negara terhadap kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintah
• Sikap apatis warga Negara dalam mengambil inisiatif dan peran yang berkaitan dengan    kebijakan public
• Jika warga Negara apatis, ditunjang dengan rezim yang berkuasa sangat kuatdan lemahnya fungsi legislative, KKN akan merajalela dan menjadi budaya yang mendarah daging (nilai dominan)
• Krisis moral dan akhlak yang berdampak pada ketidakadilan, pelanggaran hukum dan hak asasi manusia ( Joeniarto, Oktober 1989, Dampak pemerintahan tertutup, Bina Aksara, Jakarta )

Prinsip-prinsip atau karakteristik yang telah dikemukakan UNDP tahun 1997 dijadikan Bench Marking (patok banding) tentang penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Dengan demikian, dapat dilihat beberapa indicator tentang penyelenggaraan pemerintahan yang tidak transparan beserta akibatnya:
• Warga masyarakat dibatasi/tidak memiliki hak suara dalam proses pengambilan keputusan
• Informasi hanya sepihak (top down) lebih bersifat instruktif
• Lembaga perwakilan tidak dibangun berdasarkan kebebasan berpolitik (partai tunggal)
• Kebebasan berserikat dan berpendapat serta pers sangat dibatasi
• Hukum dan peraturan perundang-undangan lebih berhak kepada pengausa
• Menegakkan hukum (law enforcement) lebihabnyak berlaku bagi masyarakat bawah baik secara politik maupun ekonomi
• Peraturan tentang Hak-hak Asasi Manusia terabaikan demi stabilitas dan pencapaian tujuan Negara
• Informasi yang diperoleh satu arah, yaitu hanya dari pemerintah
• Masyarakat sangat dibatasi dalam memperoleh segala bentuk inforamasi.
• Tidak ada atau sulit bagi masyarakat untuk memonitori / mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan
• Proses pelayanan sentralistik dan kaku.
• Banyak pejabat memposisikan diri sebagai penguasa
• Layanan kepada masyarakat masih diskriminatif, fan bertele-tele (tidak responsif)
• Pemerintah lebih banyak bertindak sebagai alat kekuasaan negara
• Lebih banyak bersifat komando dan indstruksi
• Segala macam bentuk prosedur lebih bersifat formalitas
• Tidak diberikannya peluang untuk mengadakan konsensus dan musyawarah
• Adanya diskriminasi gender dalam penyelenggaraan pemerintahan
• Menutup peluang bagi dibentuknya organisasi nonpemerintahan / LSM yang menuntut keadilan dalam berbagai segi kehidupan
• Banyak peraturan yang masih berpihak pada gender tertentu
• Manajemen penyelenggaraan negara konvensional dan terpusat (top down)
• Kegiatan penyelenggaraan negara lebih banyak digunakan untuk acara-acara seremonial
• Pemanfaat sumber daya manusia tidak terencana berdasarkan prinsip kebutuhan
• Pengambil keputusan di dominasi oleh pemerintah
• Swasta dan masyarakat memiliki peran yang sangat kecil terhadap pemerintah
• Pemerintah memonopoli berbagai alat produksi yang strategis
• Masyrakat dan pers tidak diberi kesempatan untuk menilai jalannya pemerintahan
• Pemerintah lebih luas dengan kemapaman yang tlah dicapai
• Sulit menerima perubahan terutama berkaitan dengan masalah politik, hukum dan ekonomi
• Kurang mau memahami aspek-aspek kultural, historis, dan kompleksitas sosial masyarakatnya
• Penyelenggaraan pemerintahan statis dan tidak memiliki jangkauan jangka panjang
• Banyaknya penguasa yang arogan dan mengabaikan peran swasta atau masyrakat
• Pemerintah merasa yang paling benar dan paling pintar dalam menentukan jalannya kepemerintahan
• Masukan dan kritik dianggap provokator anti kemapanan dan stabilitas
• Swasta dan masyarakat tidak diberi kesempatan untuk bersinergi dalam membangun negara
• Warga masyrakat dan pers cendrung pasif, tidak ada kritik (unjuk rasa) tidak berdaya dan terkekang dengan berbagai aturan dan doktrin
• Penguasa menjadi otoriter, posisi tawar masyrakat lemah dan lebih banyak hidup dalam ketakutan dan tertekan
• Pemerintah sangat tertututp dengan segala kejelekannya sehingga masyrakat tidak banyak tahu apa yang terjadi pada negaranya
• Banyaknya pejabat yang memposisikan diri sebagai penguasa, segala layanan sarat dengan korupsi, kolusi dan nepotisme
• Pemerintah cenderung otoriter karena menutup jslsn terlaksananya konsensus dan musyawarah
• Arogansi kekuasaan sangat dominan dalam menentukan penyelenggaraan pemerintahan
• Negara cenderung salah urus dalam mengelolah sumber daya alam dan sumber daya manusianya sehingga banyak pengangguran dan tidak memiliki daya saing
• Dominasinya pemrintah dalam semua lini kehidupan menjadikan warga masyarakatnya tidak berdaya mengontrol apa saja yang telah dilakukan pemerintahnya
• Banyaknya penguasa yang pro status quo dan kemapanan sehingga tidak memperdulikan terjadinya perubahan baik internal maupun eksternal negaranya
• Para pejabat pemerintah sering dianggap lebih atau tahu dalam segala hal, sehingga masyarakat tidak merasakan dan tidak punya keinginan untuk bersinergi dalam membangun negaranya

Dampak yang paling besar terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang tidak transparan adalah korupsi. Istilah “korupsi” dapat dinyatakan sebagai suatu perbuatan tidak jujur atau penyelewengan yang dilakukan karena adanya suatu pemberian. Dalam praktiknya, korupsi lebih dikenal sebagai menerima uang yang ada hubungannnya dengan jabatan tanpa ada catatan admnistratif. Menurut MTI (Masyarakat Transparansi Internasional), “korupsi merupakan perilaku pejabat, baik politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.”
Korupsi tumbuh subur terutama pada negara-negara yang menerapkan sistem politik yang cenderung tertutup, seperti absolut, diktatur, totaliter, dam otoriter. Hal ini sejalan dengan pandangan Lord Acton, bahwa “the power tends to corrupt…” (kekuasaan cenderung untuk menyimpang) dan “… absolute power corrupts absolutely” (semakin lama seseorang berkuasa, penyimpangan yang dilakukannya akan semakin menjadi-jadi).
Di Indonesia, rezim pemerintahan yang paling korup adalah masa Orde Baru. Berdasarkan laporan Wold Economic Forum dalam “the global competitivennennssn report 1999”, kondisi Indonesia termasuk yang terburuk diantara 59 negara yang diteliti. Bahkan pada tahun 2002, menurut laporan “political and risk consultancy (PERC) atau Lembaga Konsultasi Politik dan Risiko yang berkedudukan di Hongkong, Indonesia” berhasil mengukir prestasim sebagai negara yang paling korup di Asia.
Tampaknya tdak salah lagi bahwa rezim Orde Baru yang berkuasa kurang lebih selama 32 (tiga puluh dua) tahun telah membawa Indonesia kejurang kehancuran krisis ekonomi yang berkepanjangan. Ini semua merupakan akumulasi dari pemerintahan yang dikelolah dengan tidak transparan, sehingga masalah korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) telah meracuni semua aspek kehidupan dan mencangkup hampir semua institusi formal maupun nonformal. Mafia peradilan dan praktik politik uang merupakan contoh dari segudang bentuk praktik KKN.

1) Sebab-sebab korupsi
Mengenai sebab-sebab terjadinya korupsi, hingga sekarang ini para ahli belum dapat memberikan kepastian apa dan bagaimana korupsi itu terjadi. Tindakan korupsi bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri, melainkan ada variabel lain yang ikut berperan. Penyebabnya dapat karena faktor internal si pelaku itu sendiri, maupun dari situasi lingkungan yang “memungkinkan” bagi seseorang untuk untuk melakukannya.

Berikut adalah pendapat ahli berkaitan dengan faktor-faktor penyebab terjadinya tindak korupsi.

1 Sarlito W. Sarwono
• Dorongan dari dalam diri sendiri (seperti keinginan, hasrat, kehendak, dan lain-lain)
• Rangsangan dari luar (seperti teman, adanya kesepakan, kurang kontrol, dan lain-lain)
2 Andi Hamzah
• Kekurangan gaji pegawai negeri dibandingakan dengan kebutuhan yang makin meningkat
• Latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia yang merupakan sumber atau sebab meluasanya korupsi
• Manajemen yang kurang baik dan kontrol yang kurang efektif dan efisien yang memberikan peluang orang untuk korupsi
• Modernisasi pengembangbiakan korupsi
2) Ciri-ciri korupsi
Penyalahgunaan wewenang dengan jalan korupsi, tampaknya tidak hanya didominasi oleh oknum aparat pemerintahan, akan tetapi institusi lain juga melakukan hal sama dengan ciri-ciri sebagai berikut :
• Melibatkan lebih dari satu orang
• Pelaku tidak terbatas pada oknum pegawai pemerintahan, tetapi juga pegawai swasta
• Sering digunakan bahasa “sumir” untuk menerima uang sogok, yaitu: uang kopi, uang rokok, uang semir, uang pelancar, salam tempel, uang pelancar baik dalam bentuk uang tunai, benda tertentu atau wanita
• Umumnya bersifat rahasia, kecuali jika sudah membudaya
• Melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik yang selalu tidak berupa uang
• Mengandung unsur penipuan yang biasanya ada pada bahan publik atau masyarakat umum

3) Akibat tindak korupsi
Siapapun pelakunya, sekecil apapun perbuatan tindak korupsi akan mendatangkan kerugian pada pihak lain. Beberapa akibat yang ditimbulkan dari tindakan korupsi yang pada umumnya tampak di permukaan adalah sebagai berikut :
• Mendelegetimasi proses demokrasi dengan mengurangi kepercayaan publik terhadap proses politi melalui politik uang
• Mendistorsi pengambilan keputusan pada kebijakan publik, membuat tiadanya akuntabilitas publik dan manafikan the rule of law. Hukum dan birokrasi hanya melayani kekuasaan dan pemilik modal
• Meniadaklan sistem promosi (riward and punishment), karena lebihy dominan hubungan patronklien dan nepotisme
• Proyek-proyek pembangunan dan fasilitas umum bermutu rendah dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat sehingga mangganggu pembangunan yang berkelanjutan
• Jatuh atau rusaknya tatanan ekonomi karena produk yang dijual tidak kompetitif dan terjadi penumnpukan beban utang luar negeri
• Semua urusan dapat diatur sehingga tatanan/ aturan dapat dibeli dengan sejumlah uang sesuai kesepakatan
• Lahirnya kelompok-kelompok pertemanan atau “koncoisme” yang lebih didasarkan kepada kepentingan pragmatisme uang. ( Suprapto, Oktober 2003, Akibat Korupsi, Bumi Aksara, Jakarta )

Kesimpulan Sementara :
Jika penyelenggaraan pemerintahan dilakukan dengan tertutup dan tidak transparan, secara umum akan berdampak pada tidak tercapainya kesejahteraan masyarakat atau warga Negara. Sebagaimana tercantum dalam konstitusi Negara, yaitu pencapaian masyarakat yang adil dan makmur.
Sedangkan secara khsusus, penyelenggaraan yang tidak transparan akan berdampak:
• Rendahnya atau bahkan tidak adanya kepercayaan warga Negara terhadap pemerintahan
• Rendahnya partisipasi warga Negara terhadap kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintah
• Sikap apatis warga Negara dalam mengambil inisiatif dan peran yang berkaitan dengan    kebijakan public
• Jika warga Negara apatis, ditunjang dengan rezim yang berkuasa sangat kuatdan lemahnya fungsi legislative, KKN akan merajalela dan menjadi budaya yang mendarah daging (nilai dominan)
• Krisis moral dan akhlak yang berdampak pada ketidakadilan, pelanggaran hukum dan hak asasi manusia
2.3  Upaya Pencegahan Terhadap Penyelenggaraan Pemerintah Yang Tidak   Transparan
Upaya menghindari penyelenggaraan pemerintahan yang tidak transparan sehingga melahirkan “budaya” korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dapat dilakukan, anatara lain melalui jalur-jalur sebagai berikut:
1. Formal pemerintah/ kekuasaan
(1) pemerintah dan pejabat publik perlu pengawasan melekat (waskat) dari aparat berwenang, DPR, dan masyarakat luas sehingga yang terbukti bersalah diberikan sanksi yang tegas tanpa diskriminasi
(2) mengefektifkan peran dan fingsi aparat penegak hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, para hakim, serta komisi pemberantas korupsi
(3) pembekalan secara intensif dan sistematis terhadap aparatur pemerintah dan pejabat publik dalam hal nilai-nilai agama dan sosial budaya
(4) menegakkan supermasi hukum dan perundang-undangan secara konsisten dan bertanggung jawab serta menjamin dan menghormati hak asasi manusia
(5) mengatur peralihan kekuasaan secara tertib, damai dan demokrastis sesuai dengan hukum dan perundang-undangan
(6) menata kehidupan politik agar distribusi kekuasaan dalam berbagai tingakat struktur politik dan hubungan kekuasaan dapat berlangsung dengan seimbang
(7) meningkatkan integritas, profesionalisme, dan tanggung jawab dalam penyenggaraan negara serta memberdayakan masyarakat untuk melakukan kontrol sosial secara konstruktif dan efektif ( Budi, Oktober 1999, Kekuasaan, Gramedia, Jakarta )

2. Organisasi non-pemerintah dan media massa
(1) keterlibatab lemnbaga swadaya masyarakat (LSM) atau NGO (non-Government Organization) dalam mengawasi setiap kebijakan publik yang dibuat pemerintahan seperti ICW, MTI, GOWA dan sebagainya
(2) adanya kontrol sosial untuk perbaikan komunikasi yang berimbang antara pemerintah dan rakyat melalui berbagai media massa elektronik maupun cetak ( Eko, Desember 1998, Media Massa, Pilar Daya Ratma, Solo )

3. Pendidikan dan masyarakat
(1) memperkenalkan sejak dini melalui pembelajaran di sekolah tentang pentingnya pemerintah yang transparan melalui mata pelajaran Kewarganegaraan
(2) menjadikan pancasila sebagai dasar negara yang mampu membuka wacana dan dialog interaktif di dalam masyarakat sehingga dapat menjawab tantangan yang dihadapi sesui dengan visi Indonesia masa depan
(3) meningkatkan kekurangan sosial anatara pemeluk agama, suku, dan kelompok-kelompok masyarakat lainnya melalui dialog dan kerja sama dengan prinsip kebersamaan, kesetaraan, toleransi, dan saling menghormati
(4) memberdayakan masyarakat melalui perbaikan sistem politik yang demokratis sehingga dapat melahirkan pemimpin yang berkualitas, bertanggung jawab, menjadi panutan masyarakat, dan mampu mempersatukan bangsa dan Negara ( Yuwanto, Oktober 1996, Pendidikan dan Masyarakat, Undip, Semarang )
Kesimpulan Sementara :
Upaya menghindari penyelenggaraan pemerintahan yang tidak transparan sehingga melahirkan “budaya” korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dapat dilakukan, anatara lain melalui jalur-jalur sebagai berikut:
1. Formal pemerintah/ kekuasaan
2. Organisasi non-pemerintah dan media massa
3. Pendidikan dan masyarakat

2.4 Kondisi Dalam Bidang Politik dan Hukum Pemerintahan Yang Tidak  Transparan
1)      Bidang Politik
Dalam bidang ini, kondisi politik secara umum dapat digambarkan sebagai berikut.
a)      Pengaruh budaya masyarakat yang sangat kental dengan corak paternalistik dan kultur neofeodalistiknya sangat kuat masuk dalam tatanan kehidupan politik yang dibangun. Hal ini mengakibatkan proses partisipasi dan budaya politik dalam sistem politik nasional tidak berjalan sebagaimana mestinya. Corak pemerintahan seperti ini berdampak kepada aspek-aspek sebagai berikut.
(1)     Sikap mental ketergantungan dari atas (elite politik) yaitu
(a)      Terbiasa melakukan sesuatu dengan menunggu petunjuk atau perintah dari atas,
(b)     Kurang berani mengambil inisiatif dan menghadapi resiko
(c)      Daya kreativitas tumpul karena takut salah,takut atasan tidak berkenan, dan
(d)     Bangsa sutit menjadi dewasa dan maju
(2)     Sikap mental (kultur) suka menyenangkan atasan yang berdampak pada
(a)    Corak paternalistik dan neofeodalistik,
(b)   Bawahan atau masyarakat cenderung berusaha untuk selalu menyenangkan atasannya,
(c)    Tumbuh budaya Asal Bapak Senang, dan
(d)   Banyak rekayasa dan kamuflase, antara yang dilaporkan dengan kenyataannya berbeda.
(3)     Sikap mental (kultur) mengesampingkan kritik apalagi oposisi, yaitu
(a)    Pimpinan dipandang sebagai figure yang pertama,
(b)   Gagasan yang paling benar diyakini muncul dari pimpinan, dan
(c)    Korupsi, kolusi, dan nepotisme tumbuh subur.
(4)     Sikap mental (kultur) apatis, yaitu
(a)    Segala sesuatu (keputusan atau kebijakan negara) selalu ditentukan dari atas,
(b)   Usul atau kritik diabaikan dan dianggap salah,
(c)    Rakyat bersikap diam dan acuh tak acuh terhadap pemerintahan, dan
(d) Munculnya Golput (golongan putih/tidak memilih) dalam pemilihan umum.
b)      Kukuasaan eksekutif terpusat pada presiden dan tertutup dibawah kontrol lembaga kepresidenan, berakibat pada
(1)   Krisis struktural dan sistemik, yaitu kurang fungsinya lembaga negara secara maksimal (DPR, MPR, DPA, BPK kurang produktif dan aspiratif), dan
(2)    Pergerakan partai politik maupun dinamika masyarakat terkooptasi (melalui UU pemilu, Partai Politik dan keanggotaan DPR dan DPR yang memungkinkan menguatkan eksekutif)
      Dinamika tersebut berwujud pada aspek-aspek sebagai berikut.
(a)    UU Nomor 15 Tahun 1969 tentang ABRI tidak memiliki hak pilih tetapi mempunyai wakil di DPR MPR.
(b)   UU No.16 Tahun 1969 ditetapkan untuk anggota MPR sepertiga anggota diangkat oleh Presiden. Untuk anggota DPR dari jumlah 460 orang, 100 orang diantaranya diangkat oleh Presiden dari unsur golongan karya, ABRI, dan bukan ABRI.
(c)    Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 1969 yang menggiring Pegawai Negeri untuk menyalurkan aspirasi politiknya ke dalam Golongan Karya. Dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1970 yang melarang semua Peawai Negeri Sipil, termasuk ABRI terlibat dalam berbagai kegiatan partai dan menuntut loyalitas tunggal terhadap pemerintah.
(d)   Dalam Pemilu Tahun 1971 Golkar meraih 62,8%, tahun 1977 memperoleh 62,1%, tahun 1982 meraih 64,3%, dan tahun 1987 memperoleh 73,2%. Dlam pemilu tahun 1992 meraih 68,1%, dan pada pemilu tahun 1997 meraih 70,2%. Dengan kemenangan mutlak suara Golkar di DPR maupun MPR, berarti memperkukuh posisi Presiden di lembaga itu.
c)      Mekanisme hubungan pusat dan daerah cenderung menganut sentralisasi kekuasaan dan kebijakan sehingga berdampak pada hal-hal sebagai berikut.
(1)   Kebijaan pemerintah kurang sesuai dengan kondisi geografis dan demografis.
(2)    Peratuan perundang-undangan bersifat memihak pemerintah pusat.  UU No.5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah dalam kebijakan meliputi pengelolaan sumber kekayaan alam, pembagian keuangan, penentuan pejabat daerah, dan lain-lain dirasakan kurang tepat dan tidak adil, sebab akan membuat rakyat merasa asing di daerahnya.
(3)   Rakyat bersifat pasif dan hanya sebagai objek pembangunan belaka. Banyaknya kebocoran dana yang dibawa dari daerah ke pusat, penentuan pejabat di daerah melalui rekayasa untuk kepentingan kelompok atau golongan tertentu.
2)      Bidang Hukum
Di masa pemerintahan Orde Baru, pembangunan hukum khususnya yang menyangkut peraturan perundang-undangan organik tentang pembatasan kekuasaan Presiden belum memadai. Kondisi ini member peluang terjadinya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme serta memuncak pada penyimpangan berupa penafsiran yang hanya sesuai dengan selera penguasa.Telah terjadi penyalahgunaan wewenang, pelecehan hukum, pengabaian rasa keadilan, serta kurangnya perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat.
Jarang dijumpai bahwa hukum ditegakkan dengan serius apabila akibatnya akan beresiko menyentuh golongan elite yang sedang berkuasa. Sekelumit contoh, siapa pembunuh Marsinah atau Udin, hingga akhir pemerintahan Orde Baru, bahkan sekarang belum terungkap tuntas.
Di samping itu, pembinan lembaga peradilan oleh eksekutif merupakan peluang bagi penguasa melakukan intervensi ke dalam proses peradilan, serta berkembangnya kolusi dan praktik-praktik negatif pada proses peradilan. Penegakan hukum  belum memberi rasa keadilan dan kepastian hukum pada kasus-kasus yang menghadapkan  pemerintah atau pihakyang kuat dengan rakyat, sehingga menempatkan rakyat pada posisi yang lemah.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa keterkaitan penyelenggaraan pemerintahan tertutup di berbagi bidang juga berdampak pada kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegaraadalah sebagai berikut.
a)      Penyelenggaraan pemerintahan di bidang politik yang pada hakikatnya didominasi oleh Presiden, Golongan Karya, dan ABRI telah tertutup dari unsur masyarakat lain sehingga masyarakat merasa aspirasinya tidak dapat disalurkan dengan baik (tersumbat). Akibatnya mereka acuh tak acuh dan tidak puas dengan keadaan tetapi mereka tidak bisa dan tidak berani berbuat apa-apa untuk melakukan perubahan. Akibatnya, mereka memilih diam dan menahan seraya menunggu kesempatan tiba. 
b)      Sementara itu, penyelenggaraan perekonomian yang ditentukan oleh sekelompok elite penguasa di bawah komando Presiden dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu untuk mendapatkan kesempatan dengan kepandaian melobi penguasa, mereka mendapatkan banyak fasilitas dan kemudahan. Sedangkan yang tidak menjadi terpinggirkan. Dari praktik seperti itu kemudian melahirkan konglomerat di Indonesia yang sekaligus pula melahirkan kecemburuan antarpelaku ekonomi di samping kesenjanagn social yang tajam di tengah masyarakat.
c)      Soko guru perekonomian bergeser, bukan terletak di tangan koperasi yang pada hakikatnya seluruh rakyat, melainkan berada di tangan konglomerat  tersebut. Belum lagi merebaknya praktik korupsi dan utang luar negeri yang di katakan cukup aman ternyata mengkhawatirkan. Hal inilah yang membuat bangsa kita menjadi terpuruk dan harga dirinya jatuh di depan masyarakat internasional. Akibatnya, rakyat menjadi banyak yang tidak puas.
d)       Penyelenggaraan di bidang hukum yang dinilai oleh masyarakat kebanyakan, banyak berpihak pada pihak yang kuat. Para penegaknya bermoral rendah sehingga dalam maslah peradilan sampai ada kata sindiran KUHP yang mestinya singkatan Kitab Undang-undang Hukum Pidana diplesetkan menjadi “Kasih Uang Habis Perkara”. Kemudian juga ada istilah calo perkara, mafia peradilan. Itu semua mencerminkan betapa buruknya penegakan hukum dan keadilah di Indonesia. Akibatnya  rakyat menjadi putus asa abila mempunyai perkara yang seharusnya diselesaikan di pengadilan, karena hasilnya sudah dapat ditebak akan dimenangkan pihak yang kuat, baik kuat kedudukannya, uangnya, maupun kuat hubungannya, dan lain-lain. Itulah sebabnya masyarakat menjadi sulit di cegah untuk tidak main hakim sendiri, karena mereka menilai pengadilan belum mampu menciptakan rasa keadilan masyarakat.
Kondisi politik yang demikian kemudian melahirkan perasaan tidak puas, sistem penyelenggaraan perekonomian yang banyak  menguntungkan sekelompok kecil orang dan penegakan hukum yang buruk. Akhirnya, dengan dipici adanya krisis moneter dan berlanjut menjadi krisis ekonomi, spontan sebagian besar rakyat yang sejak semula merasa kecewa dengan kondisi seperti di atas, seakan-akan menjadi kehilangan kesabaran bahkan kehilangan akal sehatnya, kemudian tidak percaya lagi dengan pemerintah. Mereka menumpahkannya lewat demonstrasi, unjuk rasa besar-besaran, bahkan ada yang melakukan perusakan, penjarahan, dan aksi-aksi brutal lainnya. Mereka menuntut agar pucuk pimpinan pemerintah Orde Baru mundur dari jabatnnya dan segera diadakan langkah-langkah perbaikan ekonomi di samping pembersihan praktik KKN.
Presiden Soeharto yang merasa sudah tidak mendapatkan kepercayaan, akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 mengundurkan diri dari jabatan Presiden dan menyerahkannya kepada Wakil Presiden B.J Habibie. Peristiwa tersebut menandai berakhirnya pemerintahan Orde Baru yang bersifat Reformasi.
Demikian selayang pandang pemerintahn tertutup Orde Baru berikut akibatnya. Setelah tahu akibatnya demikian, semoga pemerintah sekarang dapat mengambil hikmah dari pemerintahan sebelumnya sehingga tidak mengulangi kesalahan masa lalu. Dengan demikian, ke depan bangsa ini tidak saling menggugat dan saling menyalahkan. Akan tetapi, tinggal melanjutkan dan mengembangkan apa-apa yang telah diletakkan sekarang sehingga akan cepat maju, kuat, dan mampu menjaga kelangsungan hidupnya. ( Sumarsono, Oktober 2007, Pendidikan Kewarganegaraan, Yudistira, Bogor )

    Dalam bidang ini, kondisi politik dan hukum secara umum dapat digambarkan seperti berikut :
• Penguasa yang ingin mempertahankan kekuasaannya sehingga melakukan perbuatan “menghalalkan segala cara” demi ambisi dan tujuan politiknya
• Peralihan kekuasaan yang sering menimbulkan konflik, pertumpahan darah, dan dendam antara kelompok di masyarakat ( Harris, Oktober 2001, Politik dan Hukum, LP3ES, Jakarta)
• Pemerintah mengabaikan proses demokratisasi, sehingga rakyat tidak dapat menyalurkan aspirasi politiknya (saluran komunikasi tersumbat), maka timbul gejolak politik yang bermuaran pada gerakan reformasi yang menuntut kebebasan, kesetaraan, dan keadilan
• Pemerintahan yang sentralistis sehingga timbul kesenjangan dan ketidakadilan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang sering memunculkan konflik vertika, yaitu adanya tuntutan memidahkan diri dari Negara
• Penyalahgunaan kekuasaan karena lemahnya fungsi pengawasan internal dan oleh lembaga perwakilan rakyat, serta terbatasnya akses masyarakat dan media massa untuk mengkritisi kebijakan-kebijakan yang dilaksanakan ( Sumardjan, Februari, Kondisi Politik, Rajawali, Jakarta)

• Terabaikannya nilai-nilai agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa sebagai sumber etika sehingga dikemudian hari melahirkan perbuatan tercela antara lain berupaketidak adilan, pelanggaran hukum, dan pelanggaran hak asasi manusia
• Sering terjadinya konflik social sebagai konsekuensi keberagaman suku, agama, ras, dan golongan yang tidak dikelola dengan baik dan adil
• Perilaku ekonomi yang sarat dengan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta berpihak pada sekelompok pengusaha besar
• System politik yang otoriter sehingga para pemimpinnya tidak mampu lagi menyerap aspirasi dan memperjuangkan kepentingan masyrakat
• Hukum telah menjadi alat kekuasaan sehingga pelaksanaannya banyak bertentangan dengan prinsip keadilan, termasuk masalah hak warga Negara dihadapan hukum ( Yuwanto, Juli 1997, Kondisi Hukum,  Ui Press, Bogor )
Kesimpulan Sementara :
kondisi politik dan hukum secara umum dapat digambarkan seperti berikut :
• Penguasa yang ingin mempertahankan kekuasaannya sehingga melakukan perbuatan “menghalalkan segala cara” demi ambisi dan tujuan politiknya
• Peralihan kekuasaan yang sering menimbulkan konflik, pertumpahan darah, dan dendam antara kelompok di masyarakat
2.5  Penyelenggaraan Pemerintah Yang Tidak Transparan
Informasi merupakan salah satu bagian yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat di dunia saat ini, terlebih jika kita tinggal dalam suatu negara demokrasi yang mengenal adanya pengakuan terhadap kebebasan dalam memperoleh informasi bagi rakyatnya. Tertutupnya kebebasan dalam memperoleh informasi dapat berdampak pada banyak hal seperti rendahnya tingkat pengetahuan dan wawasan warga negara yang pada akhirnya juga berdampak pada rendahnya kualitas hidup suatu bangsa. Sementara itu dari segi penyelenggaraan pemerintahan, tidak adanya informasi yang dapat diakses oleh publik dapat berakibat pada lahirnya pemerintahan yang otoriter dan tidak demokratis. ( Vivi, Januari 2000, Informasi, Ghalia Indonesia, Jakarta )
Pada dasarnya, pemerintahan di negara-negara demokrasi telah menyadari bahwa terciptanya keterbukaan dalam memperoleh informasi bagi publik dapat memberikan dampak positif bagi kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan hukum di negaranya. Keterbukaan informasi dalam penyelenggaraan pemerintahan juga merupakan salah satu wujud komitmen pemerintah dalam melaksanakan prinsip-prinsip good governance dan demokratisasi pemerintahan, di mana salah satu butir di antara butir-butir good governance adalah adanya keterbukaan pemerintah (transparency) kepada masyarakat.
Keterbukaan akses informasi bagi publik di sisi lain juga dapat menjadi salah satu alat penunjang kontrol masyarakat atas kinerja pemerintah ataupun unit-unit kerjanya. Dalam konteks bidang keamanan dan pertahanan, setiap negara demokrasi juga membuka ruang-ruang tersedianya informasi yang dapat diakses masyarakat. Hal ini dimaksudkan agar hak-hak warga negara tetap terjaga dan tidak terenggut. Di samping itu, adanya keterbukaan memperoleh informasi juga dapat menjadikan aktor pertahanan menjadi lebih profesional selalu bertindak dengan berdasarkan hukum.
Sebagai sebuah negara yang demokratis, Indonesia juga tentunya harus tetap memandang bahwa kebebasan memperoleh informasi bagi publik merupakan suatu hal yang pada dasarnya harus tetap dijaga. Adapun terkait beberapa hal yang sifatnya "rahasia" di mana di dalamnya terdapat hal-hal yang sensitif terutama menyangkut persoalan kedaulatan negara haruslah dapat didefinisikan dengan jelas dan tetap mengacu pada Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik.
Selama masa pemerintahan Orde Baru, keterbukaan untuk memperoleh informasi sangat dibatasi pemerintah. Bahkan, beberapa media yang sangat kritis dan lugas dalam menyajikan informasi dengan sangat mudah dibekukan pemerintah. Dengan alasan kerahasiaan, pemerintah Orde Baru banyak mengotrol berbagai informasi yang akan keluar dan diterima masyarakat sehingga sangat wajar apabila informasi yang akan disajikan media harus melewati pengawasan yang ketat. Hal ini tentunya dimaksudkan agar tidak terjadi gejolak perlawanan di dalam masyarakat.
Tertutupnya pintu untuk memperoleh informasi juga sangat berdampak negatif pada lemahnya jaminan kepastian hukum dan perlindungan HAM bagi masyarakat, pemerintahan pun pada akhirnya menjadi pemerintahan yang otoriter sehingga sangat wajar apabila berbagai kalangan berpendapat bahwa pada masa Orde Baru banyak sekali
terjadi kasus penculikan aktivis yang sangat vokal mengkritisi kebijakan pemerintah. Dengan mengatasnamakan keamanan dan rahasia negara, pemerintah Orde Baru juga telah menafsirkan sifat kerahasiaan negara demi kepentingan dan keberlangsungan kekuasaannya sehingga mengakibatkan banyak pihak yang menjadi khawatir dengan setiap tindakan dan ucapan mereka karena selalu diintai.
Sifat rahasia negara yang ditafsirkan dan diimplementasikan oleh pemerintahan Orde Baru untuk menghalang-halangi kebebasan memperoleh informasi, pada dasarnya juga menyeret aktor pertahanan dan keamanan pada posisi yang tidak profesional sehingga ketika kita berbicara mengenai rahasia negara dan kebebasan memperoleh informasi, pada saat ini, tidak akan terlepas pula dari proses reformasi di bidang pertahanan dan keamanan.
Jatuhnya tampuk kekuasaan Orde Baru telah membuka harapan bagi kehidupan bernegara yang lebih demokratis, dan keterbukaan pemerintah terhadap masyarakat menjadi salah satu tuntutan dalam agenda perjuangan reformasi. Keterbukaan pemerintah kepada masyarakat merupakan suatu hal yang memang sudah selayaknya dilakukan sejak dahulu sebab Indonesia adalah negara yang menganut sistem demokrasi, sebuah negara demokrasi yang lahir dari kedaulatan rakyat sehingga kedaulatan sepenuhnya berada di tangan rakyat. Oleh karena itu, pemerintah wajib bersikap transparan kepada rakyatnya.
Negara Indonesia yang ingin mensejahterakan seluruh rakyat perlu mengimplementasikan formulasi pembentukan negara dalam kosepnya yang terkenal Kontrak Sosial (Du Contract social ou principes du droit politique) yang dibuat pada tahun 1762 oleh Jean Jacques Rousseau (1712-1778). Rousseau melihat hubungan individu dengan negara haruslah didasari pada sebuah kesepakatan untuk bernegara sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan bersama. Kesepakatan yang penting harus dipenuhi adalah tentang hak dan kewajiban.
Dalam uraiannya, Rousseau menekankan pentingnya istilah volente generale (kehendak umum) yang merupakan cikal bakal lahirmya masyarakat sipil. Sebuah negara haruslah didasarkan pada kesepakatan umum yang jika dilanggar akan mengakibatkan ketidakadilan. Konsep ketidakadilan, dengan sendirinya membubarkan kesepakatan umum dan juga kontrak sosial.
Konstitusi (UUD) pada hekakatnya merupakan kontrak sosial dalam kehidupan bernegara. Pasal 28 F pada prinsipnya memberikan hak pada setiap orang untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi. Hak tersebut selain diatur dalam pasal tersebut, juga jauh sebelumnya sudah ditetapkan PBB melalui resolusi 59 ayat 1 Tahun 1946 dan Internasional Cevenant on Civil and Political Rights 1966 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB pasal 19 yang menegaskan bahwa hak atas informasi merupakan hak asasi dan hak konstitusional sehingga wajib dilindungi oleh negara.
Dunia sekarang sudah memasuki Era Informasi, dimana informasi adalah kekuasaan ("from brown to brain"). Telah terjadi suatu Powershift, kata Alvin Toffler. Era informasi ini sejalan dengan demokratisasi, pengurangan dominasi pemerintah, pemajuan
Hak atas informasi tersebut meliputi : (1). Hak publik untuk memantau atau mengamati perilaku pejabat publik dalam menjalankan fungsi publiknya (right to observe); (2). Hak publik untuk mendapatkan/mengakses informasi (public access to information); (3). Hak publik untuk berpartisipasi dalam proses pembentukan kebijakan (right to participate); (4). Kebebasan berekspresi yang salah satunya diwujudkan kebebasan pers (free and responsible pers); (5). Hak publik untuk mengajukan keberatan apabila hak-hak di atas diabaikan (right to appeal) baik melalui administrasi maupun adjudikasi (menggunakan sarana pengadilan semu, arbitrasi maupun pengadilan.
Selain itu keterbukaan informasi memberi peluang rakyat untuk berpartisipasi dalam berbagai kebijakan publik. Rakyat yang well - informed akan menjadi kekuatan dan actor dalam proses penentuan dan pengawasan kebijakan publik. Hak itu didasarkan pada pemikiran dan Pengalaman empirik bahwa : (1) Publik yang lebih banyak mendapat informasi dapat berpartisipasi lebih baik dalam proses demokrasi; (2) Parlemen, pers dan publik harus dapat dengan wajar mengikuti dan meneliti tindakan- tindakan pemerintah; kerahasiaan adalah hambatan terbesar pada pertanggung jawaban pemerintah; (3) Pegawai pemerintahan mengambil keputusan-keputusan penting yang berdampak pada kepentingan publik; dan agar bertanggung jawab pemerintah harus menyediakan informasi yang lengkap mengenai apa yang dikerjakan; (4) Arus informasi yang lebih baik menghasilkan pemerintahan yang efektif dan membantu pengembangan yang lebih fleksibel; (5) Kerjasama antara publik dan pemerintah akan semakin erat karena informasi yang semakin banyak tersedia.
Informasi dapat digambarkan sebagai oksigen dalam suatu negara demokrasi. Negara Demokrasi terkait dengan pertanggungjawaban dan tata pemerintahan yang baik. Rakyat diharapkan dapat berpartisipasi aktif dalam penyelenggaraan negara, oleh karena itu pemberian hak kepada rakyat atas informasi merupakan tiang penyangga yang penting bagi demokrasi. ( Effendi, Oktober 2005, Ketersediaan Informasi, Yudistira, Bogor )
Kepentingan umum, misi organisasi publik
Untuk menilai kinerja organisasi ini tentu saja diperlukan indikator-indikator atau kriteria-kriteria untuk mengukurnya secara jelas. Tanpa indikator dan kriteria yang jelas tidak akan ada arah yang dapat digunakan untuk menentukan mana yang relatif lebih efektif diantara : alternatif alokasi sumber daya yang berbeda; alternatif desain-desain organisasi yang berbeda; dan diantara pilihan-pilihan pendistribusian tugas dan wewenang yang berbeda (Bryson, 2002). Sekarang permasalahannya adalah kriteria apa yang digunakan untuk menilai organisasi.
Sebagai sebuah pedoman, dalam menilai kinerja organisasi harus dikembalikan pada tujuan atau alasan dibentuknya suatu organisasi. Misalnya, untuk sebuah organisasi privat/swasta yang bertujuan untuk menghasilkan keuntungan dan barang yang dihasilkan, maka ukuran kinerjanya adalah seberapa besar organisasi tersebut mampu. ( Gaffar, Oktober 2002, Kepentingan Umum Misi Organisasi Politik, Ganeca, Bandung )
Kesimpulan Sementara :
Informasi merupakan salah satu bagian yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat di dunia saat ini, terlebih jika kita tinggal dalam suatu negara demokrasi yang mengenal adanya pengakuan terhadap kebebasan dalam memperoleh informasi bagi rakyatnya. Tertutupnya kebebasan dalam memperoleh informasi dapat berdampak pada banyak hal seperti rendahnya tingkat pengetahuan dan wawasan warga negara yang pada akhirnya juga berdampak pada rendahnya kualitas hidup suatu bangsa. Sementara itu dari segi penyelenggaraan pemerintahan, tidak adanya informasi yang dapat diakses oleh publik dapat berakibat pada lahirnya pemerintahan yang otoriter dan tidak demokratis.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kritik dan Saran
3.1.1 Kritik
Bagi para pembaca dan rekan-rekan yang lainnya, jika ingin menambah wawasan dan inginmengetahui lebih jauh, maka penulis mengharapkan dengan rendah hati agar lebih membaca buku-buku ilmiah dan buku-buku lainnya yang berkaitan dengan judul  Dampak dari penyelenggaraan pemerintahan yang tidak transparan
Kritik dan saran yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi perbaikan dankesempurnaan Makalah kami.Jadikanlah makalah ini sebagai sarana yang dapat mendorong para mahasiswa/mahasiswi berfikir aktif dan kreatif.
3.1.2 Saran
Tak ada gading yang tak retak, tak ada yang sempurna di dunia ini, Kami segenap penulias tentunya sangatlah mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca, mengingat penyusunan makalah ini terasa masih  jauh dari kata sempurna.
Pada akhirnya, kami segenap penyusun mengucapkan banyak Terima kasih atas partisipasi para pembaca, semoga makalah ini dapat berguna di kemudian hari



3.2  Kesimpulan
Suatu pemerintahan atau kepemerintahan dikatakan Transparan (terbuka), apabila dalam penyelenggaraan kepemerintahannya terdapat kebebasan aliran informasi dalam berbagai proses kelembagaan sehingga mudah diakses oleh mereka yang membutuhkan. Berbagai informasi telah disediakan secara memadai dan mudah dimengerti, sehingga dapat digunakan sebagai alat monitoring dan evaluasi. Kepemerintahan yang tidak transparan, cepat atau lambat cendrung akan menuju kepemerintahan yang korup, otoriter, atau diktatur.
Dalam penyelenggaraan Negara, pemerintah dituntut bersikap terbuka terhadap kebijakan-kebijakan yang dibuatnya termasuk anggaran yang dibutuhkan dalam pelaksanaan kebijakan tersebut. Sehingga mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi terhadap kebijakan tersebut pemerintah dituntut bersikap terbuka dalam rangka ”akuntabilitas public”.
Realitasnya kadang kebijakan yang dibuat pemerintah dalam hal pelaksanaannya kurang bersikap ransparan, sehingga berdampak pada rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap setiap kebijakan yang dibuat pemerintah. Sebagai contoh, setiap kenaikan harga BBM selalu di ikuti oleh demonstrasi “penolakan” kenaikan tersebut. Pada hal pemerintah berasumsi kenaikan BBM dapat mensubsidi sector lain untuk rakyat kecil “miskin”, seperti pemberian fasilitas kesehatan yang memadai, peningkatan sector pendidikan, dan pengadaan beras miskin (raskin). Akan tetapi karena kebijakan tersebut pengelolaannya tidka transparan bahkan sering menimbulkan kebocoran (korupsi), rakyat tidak mempercayai kebijakan serupa dikemudian hari.


Jika penyelenggaraan pemerintahan dilakukan dengan tertutup dan tidak transparan, secara umum akan berdampak pada tidak tercapainya kesejahteraan masyarakat atau warga Negara. Sebagaimana tercantum dalam konstitusi Negara, yaitu pencapaian masyarakat yang adil dan makmur.
Sedangkan secara khsusus, penyelenggaraan yang tidaktransparan akan berdampak:
• Rendahnya atau bahkan tidak adanya kepercayaan warga Negara terhadap pemerintahan
• Rendahnya partisipasi warga Negara terhadap kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintah
• Sikap apatis warga Negara dalam mengambil inisiatif dan peran yang berkaitan dengan    kebijakan public
• Jika warga Negara apatis, ditunjang dengan rezim yang berkuasa sangat kuatdan lemahnya fungsi legislative, KKN akan merajalela dan menjadi budaya yang mendarah daging (nilai dominan)
• Krisis moral dan akhlak yang berdampak pada ketidakadilan, pelanggaran hukum dan hak asasi manusia

Upaya menghindari penyelenggaraan pemerintahan yang tidak transparan sehingga melahirkan “budaya” korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dapat dilakukan, anatara lain melalui jalur-jalur sebagai berikut:
1. Formal pemerintah/ kekuasaan
2. Organisasi non-pemerintah dan media massa
3. Pendidikan dan masyarakat

Kondisi politik dan hukum secara umum dapat digambarkan seperti berikut :
• Penguasa yang ingin mempertahankan kekuasaannya sehingga melakukan perbuatan “menghalalkan segala cara” demi ambisi dan tujuan politiknya
• Peralihan kekuasaan yang sering menimbulkan konflik, pertumpahan darah, dan dendam antara kelompok di masyarakat
• Pemerintah mengabaikan proses demokratisasi, sehingga rakyat tidak dapat menyalurkan aspirasi politiknya (saluran komunikasi tersumbat), maka timbul gejolak politik yang bermuaran pada gerakan reformasi yang menuntut kebebasan, kesetaraan, dan keadilan
• Pemerintahan yang sentralistis sehingga timbul kesenjangan dan ketidakadilan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang sering memunculkan konflik vertika, yaitu adanya tuntutan memidahkan diri dari Negara
• Penyalahgunaan kekuasaan karena lemahnya fungsi pengawasan internal dan oleh lembaga perwakilan rakyat, serta terbatasnya akses masyarakat dan media massa untuk mengkritisi kebijakan-kebijakan yang dilaksanakan
• Terabaikannya nilai-nilai agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa sebagai sumber etika sehingga dikemudian hari melahirkan perbuatan tercela antara lain berupaketidak adilan, pelanggaran hukum, dan pelanggaran hak asasi manusia
• Sering terjadinya konflik social sebagai konsekuensi keberagaman suku, agama, ras, dan golongan yang tidak dikelola dengan baik dan adil
• Perilaku ekonomi yang sarat dengan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta berpihak pada sekelompok pengusaha besar
• System politik yang otoriter sehingga para pemimpinnya tidak mampu lagi menyerap aspirasi dan memperjuangkan kepentingan masyrakat
• Hukum telah menjadi alat kekuasaan sehingga pelaksanaannya banyak bertentangan dengan prinsip keadilan, termasuk masalah hak warga Negara dihadapan hukum


Informasi merupakan salah satu bagian yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat di dunia saat ini, terlebih jika kita tinggal dalam suatu negara demokrasi yang mengenal adanya pengakuan terhadap kebebasan dalam memperoleh informasi bagi rakyatnya. Tertutupnya kebebasan dalam memperoleh informasi dapat berdampak pada banyak hal seperti rendahnya tingkat pengetahuan dan wawasan warga negara yang pada akhirnya juga berdampak pada rendahnya kualitas hidup suatu bangsa. Sementara itu dari segi penyelenggaraan pemerintahan, tidak adanya informasi yang dapat diakses oleh publik dapat berakibat pada lahirnya pemerintahan yang otoriter dan tidak demokratis.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber – sumber terkait:
http://wordpress.akibat penyelenggaraan pemerintaan yang tidak transparan.com
http://okezone.upaya pencegahan terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang tidak transparan.com
http://wikipedia.dampak penyelenggaraan pemerintahan yang tidak transparan.com
http://google.kondisi dalam bidang politik penyelenggaraan pemerintahan yang tidak transparan.com
http://okezone.penyelenggaraan pemerintahan yang tidak transparan.com
http://wikipedia.penyelenggaraan pemerintahan yang tidak transparan.com
 Vivi, Januari 2000, Informasi, Ghalia Indonesia, Jakarta
 Gaffar, Oktober 2002, Kepentingan Umum Misi Organisasi Politik, Ganeca, Bandung
 Effendi, Oktober 2005, Ketersediaan Informasi, Yudistira, Bogor
Yuwanto, Juli 1997, Kondisi Hukum,  Ui Press, Bogor
 Sumardjan, Februari, Kondisi Politik, Rajawali, Jakarta
 Harris, Oktober 2001, Politik dan Hukum, LP3ES, Jakarta
 Yuwanto, Oktober 1996, Pendidikan dan Masyarakat, Undip, Semarang
Eko, Desember 1998, Media Massa, Pilar Daya Ratma, Solo
Budi, Oktober 1999, Kekuasaan, Gramedia, Jakarta
 Suprapto, Oktober 2003, Akibat Korupsi, Bumi Aksara, Jakarta
 Joeniarto, Oktober 1989, Dampak pemerintahan tertutup, Bina Aksara, Jakarta
Kanguwes, November  2007. Wordpress.com
 Indarsi, Erlyn, Agustus 2006, Realitas Kebijakan Pemerintah, Semarang
Sanit Arbi, September, 1998, Pemerinahan Transparan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Huijbers Theo, Oktober 2006, Karakteristik Pemerintahan, Yudistira, Bogor
 Sumarsono, Oktober 2007, Pendidikan Kewarganegaraan, Yudistira, Bogor

LAMPIRAN - LAMPIRAN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar