INSTRUMEN HUKUM HAM INTERNASIONAL
TAHUN PELAJARAN
2009/2010
Mata pelajaran :
Pendidikan Kewarganegaraan
Kelas :
X ( Sepuluh )
Program Keahlian :
Teknik Pemesinan
Kelompok : 4 ( Empat )
Dibina Oleh :
Drs. Sujiono
Disusun Oleh :
1.
Moch. Imam Syafi’i
2.
Nizar Maulana
3.
Randy Kristanto
4.
Revananda
5.
Revi Sanjaya
6.
Riki Widianto
7.
Ringga Febri S
SMK MUHAMMADIYAH 1 KEPANJEN
TERAKREDITASI “A”
Jl. KH. Ahmad Dahlan No. 34 Telp. 0341 – 395451, 399269
Fax. 0341 – 398768
KEPANJEN KABUPATEN MALANG
KATA
PENGANTAR
Dengan
memanjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
dengan limpahan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini
yang berjudul “Instrumen Hukum HAM
Internasional”.
Kami
selaku penyusun makalah ini mengucapkan banyak terima kasih kepada semua
pihak-pihak yang telah membantu Saya dalam menyelesaikan makalah ini,
1. Bapak Drs. Sujiono yang telah menuntun
cara-cara membuat dan menyusun makalah ini.
2. Teman-teman yang telah membantu menyelesaikan
makalah ini.
Penyusun
makalah ini menyadari bahwa makalah ini sangatlah kurang dari sempurna. Maka
dari itu, penyusun mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
sempurnanya makalah ini.
Semoga
makalah ini dapat berguna bagi generasi siswa dan siswi SMK Muhammadiyah 1
Kepanjen juga para generasi muda serta
bagi pembaca pada umumnya.
Malang,
17 Oktober 2010
Tim
penyusun
DAFTAR
ISI
1).
Kata pengantar………..….…………………………………………………………… i
2).
Daftar isi……………..……….……..…………………................................................ ii
3).
BAB I Pendahuluan
3.1 Latar
Belakang……………..………………………..………….…………….……. 1
3.2
Tujuan Pembahasan Masalah……………….………………….……………..….. 1
3.2.1
Ingin mengetahui pengertian instrumen HAM
internasional………...……………………………………………..…...................... 2
3.2.2
Ingin mengetahui kasus-kasus pelanggaran HAM
internasional............................................................................................................... 2
3.2.3
Ingin Mengetahui proses dan sanksi pelanggaran HAM pada
peradilan
internasional…………………………..................................................... 3
3.2.4
Ingin mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan HAM beserta
peraturan
yang
mengaturnya……………………….….......................................... 3
3.2.5
Ingin mengetahui macam-macam instrument HAM internasional……... 4
3.3
Tinjauan Teoritis Masalah…………………………….………………………….. 4
4).
BAB II Pembahasan Masalah
4.1
Pengertian instrument HAM
internasional………………….................................. 4
4.2
Kasus-kasus pelanggaran HAM internasional..……….………….……………… 5
4.3
Proses dan sanksi pelanggaran HAM pada peradilan internasional……............. 5
4.4
Hal-hal yang berkaitan dengan HAM beserta peraturan yang mengaturnya…. 5
4.5
Macam-macam instrument HAM internasional………………………....……… 5
5).
BAB III Penutup
5.1
Kritik dan Saran………………………..………………..……………………….. 10
5.2
Kesimpulan…………………………………………………………………............ 10
6).
Daftar Pustaka……….………….……………………………………………………. iii
7). Lampiran – lampiran……………………………...………………………. iv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Posted
Agustus 17, 2010 by HARTANTO in KEPALANGMERAHAN. 2 Komentar
Hukum humaniter internasional memiliki sejarah
yang singkat namun penuh peristiwa. Baru pada pertengahan abad XIX,
Negara-Negara melakukan kesepakatan tentang peraturan-peraturan internasional untuk
menghindari penderitaan yang semestinya akibat perang – peraturan-peraturan
dalam suatu Konvensi yang mereka setuju sendiri untuk mematuhinya. Sejak saat
itu, perubahan sifat pertikaian bersenjata dan daya merusak persenjataan modern
menyadarkan perlunya banyak perbaikan dan perluasan hukum humaniter melalui
negosiasi panjang yang membutuhkan kesabaran.
Lembar Fakta ini menelusuri perkembangan hukum
humaniter internasional dan memberi gambaran terkini tentang ruang lingkup dan
pengertian hukum humaniter internasional bagi tentara maupun masyarakat sipil
yang terperangkap dalam pertikaian bersenjata.
Pertama-tama, dibutuhkan suatu definisi. Apa arti
hukum humaniter internasional? Kerangka hukum ini dapat diartikan sebagai
prinsip dan peraturan yang memberi batasan terhadap penggunaan kekerasan pada
saat pertikaian bersenjata. Tujuannya adalah:
Memberi perlindungan pada seseorang yang tidak,
atau tidak lagi, terlibat secara langsung dalam pertikaian – orang yang
terluka, terdampar, tawanan perang dan penduduk sipil;
Membatasi dampak kekerasan dalam pertempuran demi
mencapai tujuan perang.
Perkembangan hukum internasional yang berhubungan
dengan perlindungan bagi korban perang dan dengan hukum tentang perang sangat
dipengaruhi oleh perkembangan hukum perlindungan hak asasi manusia setelah
Perang Dunia Kedua. Penetapan instrumen internasional yang penting dalam bidang
hak asasi manusia – seperti DUHAM (1948), Konvensi Eropa tentang Hak Asasi
Manusia (1950) dan Kovenan Internasional tentang Hak sipil dan Politik (1966)
memberikan sumbangan untuk memperkuat pandangan bahwa semua orang berhak
menikmati hak asasi manusia, baik dalam keadaan damai maupun perang.
Selama
keadaan perang atau keadaan darurat berlangsung, pemenuhan hak asasi tertentu
mungkin dibatasi berdasarkan kondisi-kondisi tertentu. Pasal 4 Kovenan
Internasional tentang Hak Sipil dan Politik mengijinkan Negara melakukan
upaya-upaya yang bersifat sementara mengabaikan beberapa kewajiban Negara
berdasarkan Kovenan “ketika terjadi keadaan darurat yang mengancam keselamatan
bangsa,“ tapi hanya “sejauh yang sangat dibutuhkan oleh keadaan yang bersifat
darurat.” Pasal 15 Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia berisi aturan yang
sama. Secara berkala, Sub-Komisi Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan bagi
Kaum Minoritas melakukan pembahasan tentang Negara dalam keadaan darurat dan
penghormatan hak asasi manusia dalam situasi demikian.
Namun,
kebutuhan agar hak asasi manusia tetap terjaga walaupun dalam waktu perang
telah mendapat pengakuan sepenuhnya; Pasal 3 dari empat Konvensi Jenewa tentang
hukum humaniter 1949 menyatakan bahwa pada masa pertikaian bersenjata seseorang
yang dilindungi konvensi “dalam kondisi apapun diperlakukan secara manusiawi,
tanpa pembedaan yang merugikan berdasarkan ras, warna kulit, agama atau
kepercayaan, jenis kelamin, keturunan atau kekayaan, atau kriteria sejenis
lainnya.”
Dalam
sidang ke-43 Sub-Komisi Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan bagi Kaum
Minoritas (5-30 Agustus 1991), sebuah laporan dari Sekretaris Jenderal tentang
pendidikan sehubungan dengan penghormatan terhadap hak asasi manusia saat
terjadi pertikaian bersenjata, disajikan dalam Bagian 4 dari ketentuan agenda
(E/CN.4/Sub.2/1991/5). Dua tahun sebelumnya Sub-Komisi menetapkan resolusi
1989/24 tentang “hak asasi manusia pada Masa Pertikaian Bersenjata,” karena
merasa prihatin bahwa selama pertikaian-pertikaian demikian seringkali
ketentuan yang berkaitan dengan hukum humaniter internasional dan hukum tentang
hak asasi manusia tidak dihormati. Pada sidang ke-46 Komisi hak asasi manusia
menetapkan Resolusi No. 1990/60 yang mengakui peran penting Komite Palang Merah
Internasional dalam menyebarkan hukum humaniter internasional dan mengajak
Negara-negara “untuk memberi perhatian khusus pada pendidikan bagi semua anggota
keamanan dan militer lainnya, dan semua badan penegak hukum, mengenai hukum
internasional tentang hak asasi manusia dan hukum humaniter internasional yang
berlaku ketika terjadi pertikaian bersenjata”.
Tiga arus
utama memberi kontribusi terhadap penyusunan hukum humaniter internasional.
Ketiga arus itu adalah “Hukum Jenewa,” diberikan oleh Konvensi dan Protokol
internasional yang terbentuk berdasarkan sponsor Komite Palang Merah
Internasional (ICRC) dengan perhatian utama pada perlindungan korban pertikaian;
“Hukum Den Haag,” berdasarkan hasil Konperensi Perdamaian di ibukota Belanda
pada 1899 dan 1907, yang pada prinsipnya mengatur sarana dan metode perang yang
diizinkan; dan usaha-usaha PBB menjamin penghormatan hak asasi manusia pada
pertikaian bersenjata dan membatasi penggunaan senjata-senjata tertentu.
Dalam perkembangannya, ketiga arus besar ini
akhirnya bergabung menjadi gelombang aksi.
Pada
Awalnya…………….
Ketika tentara Perancis dan Austria berperang
dalam pertempuran Solferini di utara Italia pada Juni 1859, terlintas ide dalam
pikiran Henri Dunant, seorang pemuda Swiss, tentang langkah internasional untuk
mengurangi penderitaan orang yang sakit dan terluka dalam perang.
Dunant
sendiri kebetulan berada di antara ribuan orang Perancis dan Austria yang
terluka setelah pertempuran, dan bersama beberapa sukarelawan lain melakukan
apa saja yang dapat dilakukan untuk meringankan penderitaan mereka. Terkejut
dengan apa yang dilihatnya, Dunant kemudian menulis buku berjudul Un Souvenir
de Solferino, diterbitkan tahun 1862. Dalam buku itu Dunant memberi saran untuk
membentuk perkumpulan nasional untuk merawat orang yang sakit atau terluka
tanpa memandang ras, kebangsaan atau agama. Dunant juga mengusulkan agar
Negara-negara membuat perjanjian yang mengakui kegiatan organisasi ini dan
menjamin perlakuan yang lebih baik terhadap orang yang terluka.
Bersama
empat rekannya, Hennri Dunant lalu membentuk Komite Internasional untuk
Pertolongan bagi Orang yang Terluka (kemudian diubah namanya menjadi Komite
Palang Merah Internasional). Ide Dunant mendapat tanggapan luas. Pada beberapa
negara didirikan perkumpulan nasional dan dalam Konperensi diplomatik di Jenewa
1864, delegasi dari 16 bangsa Eropa menetapkan Konvensi untuk Perbaikan Kondisi
terhadap Tentara yang Terluka dalam Perang.
Dokumen
ini, Konvensi Jenewa Pertama, mencakup aturan pokok universal dan toleransi
dalam hal ras, kebangsaan dan agama. Sebagai lambang, palang merah dengan latar
belakang putih, ditetapkan sebagai tanda pengenal bagi personel kesehatan
militer. Di Negara Islam, lambang ini berupa bulan sabit merah berlatar
belakang putih. Sejak itu staf dan fasilitas kesehatan dianggap netral.
Konvensi Jenewa ini secara formal meletakkan dasar-dasar hukum humaniter
internasional.
Memperluas Persetujuan Internasional
Dalam waktu
singkat terlihat jelas perlunya memperluas ruang lingkup Konvensi Jenewa. Pada
1868, sebuah rancangan baru konvensi dibentuk dengan gagasan memperluas
prinsip-prinsip yang ditetapkan empat tahun sebelumnya, dengan memasukkan pertempuran
di lautan. Langkah lain, Deklarasi St. Petersburg 1868, meminta Negara-Negara
tidak menggunakan senjata yang mengakibatkan penderitaan yang tidak perlu.
Deklarasi ini melarang penggunaan senjata peledak.
Konperensi
Perdamaian di Den Haag pada 1899 dan 1907 menetapkan konvensi-Konvensi hukum
dan tata cara perang, serta deklarasi yang melarang praktek-praktek tertentu,
termasuk pemboman terhadap kota yang tidak mempunyaipertahanan, penggunaan gas
beracun dan peluru berhulu lunak. Konperensi ini gagal bersepakat mengenai
sebuah sistem perwasitan wajib, yang dimaksudkan untuk menengahi pertentangan
yang dapat mengancam perdamaian.
Pada 1906
Konvensi Jenewa Pertama diperbaiki untuk memberi perlindungan yang lebih besar
terhadap korban perang di darat, dan pada tahun berikutnya seluruh ketentuan
tersebut diperluas dengan pertempuran di laut.
Penghormatan
terhadap Konvensi Jenewa dan operasi yang dipimpin oleh Komite Palang Merah
Internasional memainkan peranan penting dalam menyelamatkan nyawa dan mencegah
penderitaan yang tidak seharusnya dalam Perang Dunia I (1914-1918). Namun,
besarnya penderitaan manusia akibat perang menambah keyakinan masyarakat
internasional agar Konvensi Jenewa itu diperkuat.
Dengan
semangat ini, konperensi di Jenewa 1929 telah menetapkan sebuah Konvensi dengan
ketentuan-ketentuan yang lebih baik bagi perawatan orang sakit dan terluka, dan
Konvensi kedua tentang perlakuan terhadap tawanan perang. Empat tahun
sebelumnya, sebuah Protokol telah ditetapkan pada sebuah konperensi Liga Bangsa-bangsa
untuk melarang penggunaan asphyxiating dan gas beracun. Perang Saudara di
Spanyol (1936-1939) dan Perang Dunia II (1939-1945) merupakan bukti kuat bagi
perlunya meninjau kembali hukum humaniter internasional agar sesuai dengan
sifat perang yang berubah. Keputusan diambil untuk membuat langkah awal dan
ditetapkanlah Konvensi Jenewa yang baru, mencakup penghormatan atas: orang yang
sakit dan terluka dalam pertempuran darat (Konvensi Pertama), anggota militer
yang terluka, sakit dan terdampar (Konvensi Kedua), tawanan perang (Konvensi
Ketiga), dan korban dari penduduk sipil (Konvensi Keempat). Konvensi-Konvensi
ini ditetapkan dalam suatu Konperensi diplomatik internasional yang
diselenggarakan di Jenewa pada April sampai Agustus 1949.
Suatu penemuan yang penting – yang berlaku bagi
semua Konvensi – adalah bahwa mereka menetapkan peraturan-peraturan minimum
yang harus dipatuhi dalam sebuah pertikaian bersenjata dalam negeri.
Keempat Konvensi Jenewa tetap berlaku sampai saat
ini. Namun, setelah lewati empat dasawarsa, bentuk baru pertikaian bersenjata
yang seringkali lebih tajam dan berbahaya tetapi terlokalisir dan melibatkan
pasukan dan kelompok lain dalam jumlah terbatas, telah mengalami peningkatan.
Perubahan sifat dari konflik bersenjata menuntut penanganan yang lebih jauh.
Dengan
demikian, Konperensi Diplomatik tentang Penegasan kembali dan Perkembangan
Hukum Humaniter Internasional yang diselenggarakan di Jenewa sejak 1974 sampai
1977 menetapkan dua Protokol Tambahan pada Konvensi 1949.
Protokol I mengatur perlindungan bagi korban
akibat pertikaian internasional. Protokol II tentang korban akibat pertikaian
bersenjata dalam negeri, termasuk pertikaian antara angkatan bersenjata
pemerintah dan pemberontak atau kelompok teroganisir lain yang menguasai
sebagian wilayah, tetapi tidak mengatur gangguan dan ketegangan dalam negeri
dalam bentuk kerusuhan, atau tindak kekerasan yang bersifat tertutup dan
sporadis.
Konperensi Diplomatik juga memberi rekomendasi
untuk menyelenggarakan Konperensi khusus sehubungan dengan dasar-dasar
humaniter tentang larangan penggunaan senjata konvensional tertentu.
Pada 31
Desember 1990, 164 Negara telah menjadi Peserta Konvensi Jenewa, 99 Negara
telah meratifikasi atau menyetujui Protokol I, dan 89 Negara telah meratifikasi
atau menyetujui Protokol II. Berdasarkan permintaan Majelis Umum PBB,
Sekretaris Jenderal PBB secara berkala menyampaikan laporan mengenai penerimaan
Protokol-Protokol oleh Negara-negara.
Butir-Butir Penting Protokol
Beberapa
aspek tertentu dari protokol, sebagai perkembangan terbaru pada “Hukum Jenewa,”
pantas mendapat penjelasan lebih lanjut. Protokol I (pertikaian internal)
memuat aturan yang berhubungan dengan peran Kekuasaan Perlindungan yang
dirancang setiap pihak yang terlibat pertikaian, untuk melakukan pengawasan
terhadap pelaksanaan seluruh Konvensi dan Protokol. Protokol I ini mengandung
ketentuan-ketentuan untuk memulihkan kondisi orang yang terluka, sakit dan
terdampar, serta menyediakan pengumpulan dan pemberian informasi tentang orang
yang hilang dan tewas.
Dalam larangan penggunaan metode dan praktek
peperangan yang mengakibatkan luka yang hebat, penderitaan yang tidak
semestinya dan kerusakan yang luas dalam jangka panjang pada lingkungan hidup,
Protokol I menandai akhir pemisahan “Hukum Jenewa” dan “Hukum Den Haag.”
Setiap
pasukan perang yang jatuh ke tangan musuh dianggap sebagai tawanan perang, dan
upaya perlindungan pada tahanan telah ditentukan. Namun, baik mata-mata maupun
tentara bayaran tidak mempunyai hak untuk diperlakukan sebagai tawanan perang.
Protokol I digunakan untuk melindungi penduduk sipil, demikian pula bagi
penduduk sipil yang jatuh ke tangan musuh. Pihak-pihak yang terlibat pertikaian
harus selalu membedakan antara masyarakat sipil dan pasukan perang. Sengaja
membiarkan penduduk sipil kelaparan dan perusakan lingkungan alam dilarang.
Ada
beberapa upaya khusus untuk melindungi perempuan dan anak-anak dan wartawan
dalam tugas yang berbahaya harus diperlakukan sebagai orang sipil. Perlakuan
khusus juga diberikan pada petugas kesehatan, baik sipil maupun keagamaan, dan
terhadap transportasi peralatan dan persediaan obat-obatan. Peraturan yang sama
juga terdapat dalam Protokol II berkenaan dengan situasi pertikaian internal.
Protokol II berisi peraturan-peraturan yang berhubungan dengan korban akibat
pertikaian bersenjata non internasional, dan dengan demikian melengkapi
prinsip-prinsip dasar yang tercantum dalam pasal 3 (Lampiran Konvensi 1949).
Kedua
Protokol lebih jauh menghimbau perlakuan yang manusiawi terhadap orang yang tidak,
atau tidak lagi terlibat dalam kekerasan. Pembunuhan, penyiksaan, mutilasi
serta hukuman badan sama sekali dilarang. Ada beberapa ketentuan tentang
perawatan bagi orang sakit, terluka atau terdampar, dan tentang perlindungan
bagi penduduk sipil dari tindak atau ancaman kekerasan, penelantaran sebagai
taktik perang serta pengusiran secara paksa. Tindak perusakan monumen sejarah,
karya seni, atau tempat ibadah – atau penyalahgunaannya untuk mendukung
kepentingan militer – dilarang.
PERAN PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA
Pemeliharaan
perdamaian serta pencegahan pertikaian bersenjata menjadi keprihatinan utama
PBB. Penghormatan pada hak asasi manusia di setiap waktu dan di semua tempat
merupakan prinsip pokok dari Organisasi ini.
Pada 1949
Komisi Hukum Internasional memutuskan untuk tidak memasukkan hukum tentang
pertikaian bersenjata dalam agendanya mengingat pembahasan cabang hukum
internasional ini bisa dipandang sebagai hilangnya kepercayaan pada kemampuan
PBB memelihara perdamaian dan keamanan.
Namun sejak
awal, badan-badan PBB telah memberi dukungan pada Konvensi Jenewa dan
Protokolnya, dan telah mengajak Negara-negara meratifikasinya atau
menjadikannya sebagai pedoman. Pelaksanaan hukum humaniter selalu muncul dalam
perdebatan dan keputusan dari Komisi Hak Asasi Manusia serta Sub-Komisi
Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan bagi Kaum Minoritas.
Pada 1960an
PBB memperluas keterlibatannya dalam pembentukan sistem hukum humaniter
internasional. Babak baru dimulai dalam kerja sama, interaksi, dan dukungan timbal-balik
terhadap langkah kemanusiaan antara PBB dan Komite Palang Merah Internasional.
Pada 1967 Dewan Keamanan PBB (Resolusi 237) menegaskan bahwa hak asasi manusia
harus dihormati oleh semua pihak yang terlibat pertikaian; mereka harus
memenuhi semua kewajiban yang telah mereka terima dalam Konvensi Jenewa 1949.
Resolusi ini disambut dengan baik oleh Majelis Umum PBB (Resolusi 2252), dan
telah sering disampaikan dan ditegaskan kembali.
LAPORAN SEKRETARIS JENDERAL PBB
Seri
pertama laporan-laporan dari Sekretaris Jenderal tentang penghormatan hak asasi
manusia dalam masa pertikaian bersenjata diserahkan kepada Majelis Umum pada
1969. Majelis Umum menanggapinya dengan meminta Sekretaris Jenderal untuk
menindaklanjuti permasalahan tersebut, dan memberikan perhatian khusus untuk
melindungi hak masyarakat sipil dan pasukan perang dalam perjuangan rakyat
untuk memerdekakan dirinya dari penjajahan atau dominasi asing dan menentukan
nasib sendiri serta pelaksanaan yang lebih baik konvensi-konvensi dan peraturan-peraturan
hukum humaniter Internasional yang berlaku.
Laporan
kedua, pada 1970, memberi ikhtisar mengenai perlindungan yang diberikan oleh
instrumen hak asasi manusia PBB – sebagai contoh Kovenan Internasional tentang
Hak Sipil dan Politik – pada pertikaian bersenjata. Laporan ini juga
membicarakan pembangunan tempat perlindungan bagi masyarakat sipil, dan
larangan penggunaan senjata kimia dan bakteri.
Laporan
tersebut juga memberikan informasi tentang orang-orang yang harus dilindungi
dalam situasi pertikaian dalam negeri dan perang gerilya. Laporan juga
menetapkan prasyarat-prasyarat yang mesti dipenuhi untuk memberi status “hak
istimewa dalam peperangan” (tawanan perang seperti disebutkan dalam Konvensi
Jenewa Ketiga). Dalam laporan dinyatakan bahwa Konvensi Jenewa Keempat berlaku
bagi anggota pasukan pembebasan dan mengusulkan agar Konvensi ini diperluas
sehingga mencakup pertikaian yang tidak bersifat internasional.
Dalam beberapa resolusi di 1970, Majelis Umum:
Sepakat bahwa hak asasi manusia dasar, sebagaimana
diterima dalam Hukum Internasional dan instrumen Internasional, tetap berlaku
pada masa pertikaian bersenjata;
Menyusun langkah-langkah kerangka persetujuan
Internasional tentang perlindungan wartawan dalam tugas berbahaya;
Menegaskan bahwa anggota gerakan perlawanan dan
pasukan pembebasan yang tertangkap diperlakukan sebagai tawanan perang;
Mengutuk pemboman terhadap penduduk sipil dan
penggunaan senjata kimia dan bakteri;
Mempertimbangkan agar tawanan perang yang luka
berat dan sakit parah dikembalikan ke Negaranya, dan tawanan perang yang
menjalani hukuman jangka panjang dikembalikan ke Negaranya atau diserahkan ke
sebuah Negara netral;
Menghendaki perlakuan yang manusiawi bagi
orang-orang yang berhak atas perlindungan dari Konvensi Jenewa Ketiga dan
melakukan peninjauan berkala ke tempat penahanan “dengan Kekuasaan Perlindungan
atau organisasi kemanusiaan seperti Komite Palang Merah Internasional”;
Menyambut dengan baik keputusan Komite Palang
Merah Internasional untuk menyelenggarakan Konperensi tentang penegasan kembali
dan perkembangan hukum humaniter yang dapat diterapkan saat terjadi pertikaian
bersenjata, dan menegaskan pentingnya kerja sama yang erat antara PBB dan
Komite Palang Merah Internasional.
Majelis
Umum menegaskan bahwa tempat tinggal, tempat perlindungan, wilayah rumah sakit
serta instalasi lain yang digunakan penduduk sipil tidak boleh dijadikan
sasaran operasi militer. Penduduk sipil tidak boleh dijadikan korban akibat
pembalasan, pemindahan secara paksa atau “serangan lain terhadap integritas
mereka.” Majelis juga menyatakan bahwa pemberian bantuan internasional kepada
penduduk sipil sesuai dengan Piagam PBB, DUHAM dan instrumen hak asasi manusia
internasional lainnya.
Dalam
tahun-tahun berikutnya, Majelis Umum menerima tujuh laporan tentang hak asasi
manusia dalam pertikaian bersenjata dari Sekretaris Jenderal, yang juga
menyampaikan laporan tentang hukum internasional mengenai larangan atau
pembatasan penggunaan senjata tertentu, mengenai perlindungan terhadap wartawan
serta penggunaan napalm dan senjata pembakar lainnya.
Pejuang Kemerdekaan
Status
hukum dari pasukan pembebasan yang sedang berjuang melawan penjajah atau rezim
rasialis berdasarkan hak untuk menentukan nasib sendiri dirumuskan Majelis Umum
pada 1973. Prinsip-prinsip yang disetujui sebagai berikut:
Setiap gerakan perlawanan seperti tersebut di
atas adalah sah dan sepenuhnya sejalan dengan prinsip-prinsip hukum
internasional.
Upaya menindas perlawanan terhadap penjajahan dan
rezim yang rasis tidak sesuai dengan Piagam PBB, DUHAM, dan Deklarasi tentang
Pemberian Kemerdekaan bagi Negara-Negara dan Bangsa-Bangsa Jajahan, demikian
pula dengan Prinsip-prinsip Hukum Internasional tentang Kerja Sama Bersahabat
Antar Negara. Upaya-upaya tersebut menjadi ancaman bagi perdamaian dan
keamanan.
Anggota pasukan pembebasan yang tertangkap harus
diberi status sebagai tawanan perang berdasarkan Konvensi Jenewa Ketiga.
Penggunaan tentara bayaran untuk menghadapi
gerakan pembebasan bangsa adalah tindak kejahatan.
Pelanggaran atas status hukum pasukan perang
harus dipertanggungjawabkan sepenuhnya sesuai dengan ketentuan hukum
internasional.
Perlindungan Bagi Perempuan Dan Anak
Deklarasi
tentang Perlindungan bagi Perempuan dan Anak-Anak dalam Keadaan Darurat dan
Pertikaian Bersenjata diproklamirkan oleh Majelis Umum pada 1974. Deklarasi
tersebut menyatakan bahwa segala bentuk penindasan serta perlakuan yang kejam
dan tidak manusiawi terhadap perempuan dan anak-anak – termasuk pemenjaraan,
penyiksaan, penembakan, penangkapan massal, hukuman badan, dan perusakan tempat
tinggal serta pengusiran paksa – yang dilakukan dalam peperangan sebagai bagian
dari operasi militer atau pendudukan suatu wilayah, dianggap sebagai tindak
kejahatan.
Perlindungan Bagi Wartawan
Berdasarkan Konvensi Jenewa 1949, beberapa bentuk
perlindungan dapat diberikan bagi wartawan di daerah pertikaian, akan tetapi,
seperti yang dicatat oleh Majelis Umum pada 1970, beberapa kategori wartawan
dalam melaksanakan tugas berbahaya tidak terjangkau. Dengan mandat dari Majelis
Umum dan Dewan Ekonomi dan Sosial, pada 1972 Komisi Hak Asasi Manusia
menyetujui rancangan konvensi internasional tentang perlindungan bagi wartawan
yang bertugas di wilayah pertikaian bersenjata. Rancangan tersebut disampaikan
pada Konperensi Diplomatik tentang Pengesahan dan Perkembangan Hukum Humaniter
Internasional dari Komite Palang Merah Internasional, dan masalah tersebut
disetujui dalam pasal 79 Protokol I yang ditetapkan Konperensi pada 1977. Pasal
ini menyatakan bahwa wartawan yang sedang menjalankan tugas berbahaya dianggap
sebagai orang sipil dan diberi perlindungan selama mereka tidak melakukan
tindakan yang secara merugikan mempengaruhi status sipilnya. Protokol ini
memberikan model kartu identitas yang dikeluarkan oleh pemerintah Negara asal wartawan
itu.
MELAPORKAN ORANG HILANG DAN TEWAS
Konvensi PBB tentang tewasnya orang yang hilang
mulai berlaku pada 1952, dan tidak berlaku lagi – setelah dua kali diperpanjang
– pada 1967. Kesulitan hukum yang muncul dari hilangnya orang sebagai akibat
pertikaian bersenjata, yang kematiannya tidak dapat dipastikan, saat ini telah
di atasi oleh Protokol I Konvensi Jenewa 1949. Protokol ini menyatakan bahwa
sebagai prinsip umum, dalam waktu singkat bila keadaan mengizinkan, dan
selambat-lambatnya pada saat kekerasan berakhir, setiap pihak yang terlibat
pertikaian harus mengadakan pencarian terhadap orang yang dilaporkan hilang,
dan melaporkan semua informasi yang relevan pada pihak lawan.
SENJATA: LARANGAN DAN PEMBATASAN
Sejak Deklarasi St. Petersburg pada 1868,
berulang kali dilakukan upaya melalui negosiasi internasional untuk melarang
atau membatasi penggunaan senjata yang mengakibatkan penderitaan yang tidak
semestinya pada pasukan, atau yang membahayakan penduduk sipil akibat
pertikaian bersenjata.
Senjata Nuklir
Pada masa-masa permulaan PBB, fokus perhatian
adalah masalah senjata nuklir. Resolusi pertama ditetapkan oleh Majelis Umum
pada 1946, disiapkan untuk mendirikan Komisi Energi Atom yang salah satu
tugasnya adalah merumuskan usulan untuk menghapuskan senjata nuklir dari gudang
militer suatu Negara. Walaupun tekanan tetap diberikan pada perlucutan senjata,
penggunaan senjata pada waktu perang dan akibat-akibatnya terhadap hak asasi
manusia dasar, termasuk hak untuk hidup, mulai muncul dalam agenda badan-badan
PBB 1960-an. Majelis Umum menyatakan dalam resolusi 1653 (XVI) 1961, bahwa
penggunaan senjata nuklir dan termonuklir merupakan pelanggaran langsung atas
Piagam PBB, yang mengakibatkan “penderitaan menyeluruh dan kehancuran pada
manusia dan peradaban dan ….bertentangan dengan ketentuan hukum internasional
serta hukum-hukum kemanusiaan…” Setiap Negara yang menggunakan senjata ini
dianggap melakukan tindakan yang bertentangan dengan hukum-hukum kemanusiaan
dan melakukan tindak kejahatan terhadap umat manusia dan kehidupan masyarakat.
Resolusi ini ditegaskan kembali pada 1978, 1979,
dan 1981.
Perjanjian Larangan Pengujian Senjata Nuklir di
Atmosfir, Angkasa Luar dan di bawah Laut mulai berlaku pada 1963. Walaupun
tidak diputuskan di bawah naungan PBB, Perjanjian ini mendapat persetujuan dari
Majelis Umum. Para Negara Pihak menyatakan bahwa mereka berusaha tidak
melanjutkan semua percobaan peledakan senjata nuklir, dan bahwa mereka
bermaksud untuk mengakhiri kontaminasi terhadap lingkungan hidup akibat radio
aktif. Dalam Perjanjian tentang Prinsip-Prinsip yang Mengatur Kegiatan Negara
dalam Melakukan Eksplorasi dan Pemanfaatan Angkasa Luar, termasuk bulan dan
benda-benda angkasa lainnya (1966), para Negara Pihak berjanji tidak akan
menempatkan di orbit, benda apapun yang membawa senjata nuklir atau jenis
senjata pemusnah massal. Bulan dan benda-benda angkasa lain hanya akan
digunakan untuk tujuan perdamaian. Dua tahun kemudian Majelis Umum memberi
persetujuan pada Perjanjian tentang Anti-Pengembangan Senjata Nuklir yang
mewajibkan setiap Negara Pihak yang mempunyai senjata nuklir berjanji tidak
melakukan alih teknologi, baik langsung maupun tidak langsung, atas senjata
nuklir atau hulu ledak nuklir, atau menguasainya. Mereka tidak akan membantu,
mendorong atau mempengaruhi setiap Negara yang tidak memiliki senjata nuklir
untuk membuat atau memperoleh senjata nuklir. Perjanjian yang melarang
penempatan senjata nuklir dan senjata penghancur massal lainnya di atas lautan,
dasar laut atau samudera mendapat persetujuan dari Majelis Umum, dan dibuka
untuk ditandatangani pada 1971. Para Peserta perjanjian dilarang menempatkan
senjata-senjata tersebut atau bermaksud untuk meluncurkan atau melakukan
percobaan, di atas laut atau di dalam atau di dasar laut. Dalam Deklarasi
Pencegahan Bencana Nuklir, Majelis Umum pada 1981 menyatakan bahwa Negara atau
negarawan yang memulai penggunaan senjata nuklir berarti melakukan tindak
kejahatan terbesar terhadap kemanusiaan. Deklarasi ini menyebutkan bahwa Energi
Nuklir dapat digunakan semata-mata untuk tujuan perdamaian.
Perkembangan dari senjata pemusnah massal baru
yang memiliki dampak yang sama dengan daya ledak senjata nuklir telah
didiskusikan beberapa kali dalam Majelis Umum. Pada 1986, Majelis menyampaikan
kepada seluruh negara, begitumengetahui adanya senjata pemusnah massal baru,
agar melakukan negosiasi dengan segera untuk melarang dan menghentikan
perkembangannya.
Senjata Kimia Dan Bakteri
Dalam berbagai kesempatan, Majelis Umum memberi
rekomendasi agar Negara yang belum memberi persetujuan pada Protokol 1925
tentang larangan penggunaan asphyxiating dalam peperangan dan gas beracun serta
senjata bakteri dalam perang, harus menyetujuinya.
Konvensi Larangan Pengembangan, Produksi,
Penimbunan Senjata Bakteri dan Senjata Beracun dan Penghancurannya mendapat
persetujuan dari Majelis pada 1972, dibuka untuk ditandatangani pada 1972, dan
mulai diberlakukan pada 1975. Negara Pihak Konvensi berjanji untuk tidak
mengembangkan, memproduksi, menimbun, memperoleh atau menyimpan “zat-zat atau
racun mikroba atau senjata biologi lainnya …yang tidak memiliki tujuan untuk
perlindungan, pengamanan, atau tujuan perdamaian lainnya” atau “senjata,
perlengkapan atau sarana yang dirancang untuk menggunakan zat-zat atau racun
tersebut untuk tujuan jahat, atau untuk digunakan dalam pertikaian bersenjata.”
Konvensi juga mencantumkan penghancuran dan pengubahan zat dan senjata tersebut
untuk tujuan damai.
Kesimpulan konvensi yang melarang pengembangan,
produksi dan penimbunan semua senjata kimia dan penghancurannya, yang
diputuskan Majelis pada 1978, merupakan salah satu tugas mendesak bagi
masyarakat internasional.
Senjata Konvensional
Penggunaan bom napalm mulai didiskusikan pada
Konperensi Internasional tentang Hak Asasi Manusia di Teheran (1968). Usulan
Konperensi agar diadakan suatu penelitian, didukung oleh Komite Palang Merah
Internasional. Laporan tentang napalm, senjata penghancur lainnya dan semua
aspek yang mungkin timbul akibat penggunaannya, disampaikan oleh Majelis Umum
1972, yang menyimpulkan bahwa penyebaran kebakaran melalui senjata ini
berdampak kepada seluruh sasaran baik militer maupun sipil, bahwa orang yang
terluka benar-benar kesakitan, dan bahwa tindakan pengobatan sulit didapat di
sebagian besar Negara .
Konvensi PBB tentang Larangan Atau Pembatasan
Penggunaan Senjata Konvensional Tertentu yang dapat mengakibatkan Luka Berat
atau Berdampak secara Menyeluruh, merupakan hal yang dituangkan dalam
Konperensi yang diselenggarakan di Jenewa pada 1979 dan 1980. Penyelenggaraan
Konperensi ini telah direkomendasikan oleh Konperensi diplomatik, yang pada
1977 memberi persetujuan atas Protokol Tambahan dari Konvensi Jenewa 1949.
Hubungan yang dekat antara konvensi senjata
konvensional dan aturan Humaniter Internasional lainnya, termasuk protokol
1977, diakui oleh Negara Pihak dengan mengingat ‘prinsip umum perlindungan bagi
penduduk sipil dari akibat perang,‘ seperti juga prinsip untuk menghindari
penderitaan yang tidak semestinya dan perlindungan terhadap lingkungan hidup.
Tiga perangkat Protokol menyertai Konvensi ini. Protokol pertama melarang
penggunaan senjata yang mengakibatkan luka yang tidak dapat dideteksi dengan
sinar X. Protokol kedua bertujuan untuk melarang atau membatasi penggunaan
ranjau darat dan peralatannya yang diaktifkan dengan kontrol jarak jauh atau
kontrol waktu. Protokol ketiga membatasi penggunaan senjata yang dapat membakar
.
KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN
PBB telah menetapkan peraturan bagi kerja sama
Internasional untuk pencegahan dan hukuman tindak kejahatan
terhadap perdamaian, tindak kejahatan dalam
perang dan tindak kejahatan terhadap kemanusiaan. Komitmen ini telah menambah
dimensi baru dan penting terhadap hukum Humaniter Internasional.
Konvensi pencegahan dan hukuman bagi tindak
kejahatan genosida yang disetujui oleh Majelis Umum pada 1948 merupakan salah
satu langkah awal dalam bidang ini. Konvensi sepakat bahwa genosida, baik yang
dilakukan pada saat damai maupun perang, merupakan tindak kejahatan berdasarkan
hukum Internasional yang mesti dicegah dan dihukum Negara Pihak.
Tugas utama lainnya adalah untuk merumuskan
prinsip-prinsip hukum Internasional yang diakui dalam Piagam Pengadilan
Nuremberg, yang mengadili penjahat perang setelah Perang Dunia II. Rumusan ini
disiapkan komisi hukum Internasional berdasarkan petunjuk dari Majelis Umum
pada 1950.
Komisi juga membuat rancangan kode pelanggaran
terhadap perdamaian dan keamanan umat manusia, yang berkenaan dengan
pertanggungjawaban pidana dari individu, sebagaimana diputuskan dalam pandangan
Pengadilan Nuremberg bahwa “tindak kejahatan terhadap hukum Internasional
dilakukan oleh manusia, bukan oleh suatu entitas abstrak, dan hanya dengan
menjatuhkan hukuman kepada individu yang melakukan tindak kejahatan tersebut,
maka ketentuan Hukum Internasional baru dapat ditegakkan.”
PENGHAPUSAN KETENTUAN TENTANG PEMBATASAN
Konvensi kejahatan perang dan kejahatan terhadap
kemanusiaan disiapkan oleh Komisi Hak Asasi Manusia dan Dewan Ekonomi dan
Sosial yang ditetapkan oleh Majelis Umum pada tahun 1968, dan mulai berlaku
pada 1970.
Negara Pihak Konvensi berjanji untuk menghapuskan
pembatasan domestik tentang penuntutan dan penghukuman terhadap kejahatan ini,
dan sesuai dengan hukum Internasional, memungkinkan dilakukannya ekstradisi.
Pada 1973 Majelis menetapkan sembilan prinsip
kerja sama internasional untuk mendeteksi, menangkap, melakukan ekstradisi dan
menghukum seseorang yang bersalah atas kejahatan perang dan kemanusiaan.
Akses yang lebih luas pada data-data Komisi
Kejahatan Perang diusulkan oleh Sub-Komisi tentang Pencegahan Diskriminasi dan
Perlindungan Kaum Minoritas pada 1987, ketika Sub-Komisi ini mendiskusikan
usaha untuk mengajukan terdakwa pelaku kejahatan perang ke pengadilan.
Sub-Komisi ini meminta Negara-negara untuk menjamin bahwa pelaku kejahatan
seperti tersebut di atas mendapatkan hukuman yang setimpal.
TENTARA BAYARAN
Tentara bayaran seperti disebutkan dalam Protokol
I Konvensi Jenewa tidak memiliki hak untuk dianggap sebagai pasukan tempur atau
tawanan perang.
Praktek penggunaan tentara bayaran untuk menghadapi
gerakan kemerdekaan bangsa atau untuk menjatuhkan pemerintahan dipandang
sebagai tindakan kejahatan oleh Majelis Umum, Dewan Keamanan, Dewan Ekonomi dan
Sosial, dan Komisi Hak Asasi Manusia pada beberapa kesempatan sejak era 1960an
sampai sekarang. Pada 1987, Komisi ini menyampaikan pembahasan khusus tentang
tentara bayaran tersebut.
Sementara itu suatu komite dari Majelis Umum
menyelesaikan tugas untuk membuat rancangan konvensi menentang kegiatan
memperkerjakan, menggunakan, membiayai dan melatih tentara bayaran. Konvensi
ini ditetapkan Majelis Umum pada 1989.
KESIMPULAN
Pertikaian bersenjata internal dan Internasional
adalah kenyataan yang paling kejam dalam abad ke-20. Walaupun telah dilakukan
berbagai upaya untuk mendahulukan negosiasi damai ketimbang pertikaian
bersenjata, ternyata besarnya penderitaan manusia, kematian dan kerusakan yang
diakibatkan oleh peperangan terus meningkat .
Pencegahan pertikaian bersenjata tetap menjadi
tujuan pertama dari kerja sama Internasional. Tujuan kedua adalah melindungi
kemanusiaan di tengah kenyataan perang. Itulah maksud hukum Humaniter
Internasional.
Dalam waktu sedikit lebih dari 100 tahun,
seperangkat hukum perjanjian humaniter Internasional telah dibentuk. Saat ini
telah terdapat batasan yang jelas mengenai jenis-jenis tindakan yang dapat
ditoleransi pada saat terjadi pertikaian bersenjata. Walaupun demikian,
ternyata perjanjian dan konvensi – walaupun secara sungguh-sungguh telah
diratifikasi – tidak dapat menyelamatkan nyawa, mencegah rasa sakit, atau melindungi
hak milik masyarakat yang tidak berdosa, kecuali ada keinginan untuk
melaksanakan perjanjian ini dalam kondisi apapun juga. Perjanjian dan
konvensi-konvensi tersebut juga tidak akan efektif kecuali apabila semua orang
yang terlibat langsung – baik pasukan perang maupun penduduk sipil – menyadari
bahwa masalah pokok adalah masalah penghormatan terhadap hak asasi manusia yang
dasar.
1.2
Tujuan Pembahasan Masalah
1.2.1 Ingin mengetahui
pengertian instrumen HAM internasional
1.2.2 Ingin mengetahui
kasus-kasus pelanggaran HAM internasional
1.2.3 Ingin Mengetahui proses
dan sanksi pelanggaran HAM pada
peradilan internasional
1.2.4 Ingin mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan HAM beserta
peraturan yang mengaturnya
1.2.5
Ingin mengetahui macam-macam instrument HAM internasional
1.3 Tinjauan Teoritis Masalah
BAB
II
PEMBAHASAN MASALAH
2.1 Pengertian instrumen HAM internasional
Manusia
memepunyai hak dasar yang dianugrahi Tuhan dan merupakan hak dasar yang harus
dipertahankan untuk tetap menjadi manusia, atau disebut dengan hak asasi
manusia (HAM). HAM merupakan landasan untuk kebebasan, keadilan, dan kedamaian
manusia, dari segi kehidupan sipil, politik, ekonomi, social, dan budaya. Dalam
bahasa Inggris hak asasi manusia adalah human
rights. Hak asasi manusia dalam pengertian umum adalah hak-hak dasar
yang dimiliki setiap pribadi manusia sebagai anugerah tuhan yang dibawa sejak
lahir. Hak asasi manusia adalah hak dasar yang dimiliki oleh setiap
pribadi manusia secara kodrati sebagai anugerah dari tuhan, mencangkup hak
hidup, hak kemerdekaan atau kebebasan dan hak memiliki sesuatu. Hak
asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai makhlik Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan
anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijinjung tinggi, dan dilindungi oleh negara,
hukum, pemerintah, dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat
dan martabat manusia (pasal 1 angka 1 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM dan UU
No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM). Sedangkan instrumen adalah Suatu
alat yang digunakan untuk membantu dalam suatu kegiatan. (sumber : okezone.com).
Jadi,
Instrumen HAM internasional adalah suatu alat yang digunakan untuk
membantu dalam suatu mencapai atau memperoleh kebutuhan-kebutuhan hak dasar
yang dimiliki oleh setiap pribadi manusia secara kodrati sebagai anugerah dari
tuhan, mencangkup hak hidup, hak kemerdekaan atau kebebasan dan hak memiliki
sesuatu di internasional.
2.2 Kasus-kasus pelanggaran HAM internasional
Hampir dapat dipastikan dalam kehidupan sehari hari kita temui pelanggaran HAM baik di Indonesia maupun di negara lain. Berikut ini adalah pelanggaran HAM di internasional yang pernah terjadi :
a.
Diktator Chili, Augusto Pinochet, Meninggal Dunia
Tanpa Sempat Diadili
Augusto Pinochet lahir
dikota pelabuhan Valparaiso pada 25 November 1915. Tokoh ini kemudian menjadi
salah satu dictator Amerika Selatan paling terkenal pada dekake 1970-an dan
1980-an.
Pinochet memerintah
Chili selama 17 tahun setelah bulan September 1973, militer Chili dibawah
pimpinannya menggulingkan pemerintahan Salvandor Allende yang berhaluan
sosialis dan terpilih secara demokratis. Jendral Pinochet pun berkuasa dengan
dalih menyelamatkan negara dari Komunisme. Ia muncul sebagai pemimpin baru
Chili. Ia lalu membubarkan parlemen dan menahan ribuan orang dengan tuduhan
subversif. Sebagian lagi terpaksa hidup di pengasingan atau menghilang. Selama
rezimnya berkuasa, lebih dari 3200 warga tewas dalam tindak kekerasan politik.
Banyak diantara mereka meninggal ditangan polisi rahasia yang represif.
Setelah lengser tahun
1990, Pinochet ditahan di Inggris tahun 1998 atas tuduhan pelanggaran hak-hak
asasi manusia (HAM). Dia kemudian dipulangkan kembali ke tanah airnya setelah
bertahun-tahun mendekam dalam tahanan di Inggris.
Penyiksaan dan
penindasan yang dituduhkan terhadap rezimnya
kembali menghantui Pinochet. Pengadilan Spanyol menghendaki dia diadili
atas tuduhan pelanggaran HAM yang terjadi 20 tahun sebelumnya. Setelah hmpir 17
bulan ditahan, Menteri Dalam Negeri Inggris saat itu, Jack Straw, memutuskan Jenderal
Pinochet terlalu sakit untuk bias diadili berdasarkan masukan dari dokter.
Pinochet pun terbang kembali ke Chili. Beberapa pecan kemudian pengadilan di
Santiago melucutinya dari hak kekebalan terhadap tuntutan hokum.
Pinochet dituduh
melakukan belasan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Akan tetapi, upaya panjang
untuk mengadili Pinochet di Chili gagal karena pembelaannya berhasil meyakinkan
bahwa dia terlalu sakit untuk diadili.
Lepas dari catatan hak asasinya, banyak warga Chili mencintai Pinochet dan menganggapnya sebagai penyelamat Negara dari bahaya marxisme. Namun, banyak pendukung setianya menjauhi setelah tahun 2004 dia terbukti menggelapkan sekitar 27 juta dolar dalam rekening rahasia di luar negeri.
Lepas dari catatan hak asasinya, banyak warga Chili mencintai Pinochet dan menganggapnya sebagai penyelamat Negara dari bahaya marxisme. Namun, banyak pendukung setianya menjauhi setelah tahun 2004 dia terbukti menggelapkan sekitar 27 juta dolar dalam rekening rahasia di luar negeri.
Akhirnya, Senin, 11
Desember 2006, Pinochet meninggal dunia pada usia 91 tahun setelah sepekan
sebelumnya dirawat dirumah sakit di Santiago karena menderita serangan jantung.
Dia urung menghadapi pengadilan atas kekejaman-kekejaman dibawah
pemerintahannya karena kondisi kesehatannya yang memburuk. (sumber : www.harian-global.com, Selasa, 12 Desember 2006, dengan pengubahan).
b.
Penjahat Perang Boznia Dihukum 27 tahun
Deen Haag-Pengadilan
kejahatan perang Persatuan Bangsa-bangsa menghukum Momcilo Krajisnik 27 tahun
penjara karena perannya dalam operasi “Pembersihan Etnik” (ethnik cleansing)
saat perang di Boznia pada 1992-1995 namun, membebaskan terdakwa dari tuduhan
melakukan pemusnahan etnik (genocide).
Krajisnik (61) menjadi
tokoh ternggi politikus Bosnia-Serbia yang dijatuhi hukuman oleh Pengadilan
Kejahatan Internasional untuk bekas Yoguslavia (ICTY) atas perang Boznia yamg
menewaskan 200 ribu orang. Para hakim menyimpulkan, Krajisnik terlibat dalam
aksi kejahatan bersama yang bertujuan mengusir muslim dan etnik Kroasia keluar
dari Boznia, meski tidak ada bukti terdakwa terlibat genocide. Mantan ketua
parlemen Boznia-Serbia itu dinyatakan bersalah atas penyiksaan, pemusnahan,
pembunuhan, pendeportasian dan pemindahan paksa.
Dimana awal perang,
tentara Boznia-Serbia melakukan serangan ke berbagai desa muslim Boznia dan
Boznia Kroasia yang menyebabkan banyak korban jiwa sedangkan yang selamat
dipaksa pergi. Boznia-Serbia juga membangun kamp tahanan di mana ribuan orang
non Serbia diperlakukan tidak manusiawi, disiksa dan menjadi korban kekerasan
seksual.
Dua orang yang dianggap
paling bertanggung jawab atas pembersihan etnis yang brutal di Boznia adalah
Karadzid da komandan militernya, Ratko Mladic. Keduanya dituntut melakukan
kejahatan berupa operasi pembersihan etnis, pengepungan Sarajevo dan
pembantaian Srebrenica pada 1995 yang menewaskan hamper 8 ribu laki-laki dewasa
maupun anak-anak muslim. [EL, Ant]. (sumber : www.gatra.com, 28 September 2006, dengan pengubahan).
c.
Vokalis Menanti Sanksi
Postur boleh kecil,
tapi nyali bisa segede gajah. Begitulah Inu Kencana Syafi’i. Meski diancam, Inu
tidak surut membongkar kebobrokan di Institute Pemerintahan Dalam Negeri
(IPDN), kampus tempatnya mengajar. “Sampai kapanpun Saya tidak akan bungkam”.
Ini demi kebenaran,” kata Inu Kencana Syafi’i, sosok yang kerap mencuat tatkala
terjadi insiden di IPDN.
Ketika Cliff Muntu
diberitakan tewas, pecan lalu, suara lantang Inu segera terdengar. Inu menjadi
satu-satunya dosen yang berani bicara terbuka. Inu tegas menyebut kematian
Cliff bukan akibat penyakit liver. Inu pula yang ikut ngotot agar jenazah
korban diotopsi di Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung. Hasilnya? Ditemukan
bukti sejumlah luka dalam sebagai penyebab kematian Cliff.
Kepada media massa, Inu
kembali mengungkap segala borok disekolah para calon pamong praja itu. Data
yang disodorkan sungguh mengejutkan. Sejak didirikan pada 1989, di sekolah yang
semula disebut Sekolah Tinggi Pemerintah Dalam Negeri itu ada 34 praja yang
meninggal. Sebagian diantaranya tewas karena akibat kekerasan didalam kampus.
Terungkap pula adanya perilaku hubungan seks diantara praja, baik didalam
maupun diluar kampus.
“Nyanyian” Inu ini
harus dibayar mahal. “Dia terncam sanksi disiplin pegawai negeri sipil,” kata
Sekretaris Jendral Departemen Dalam Negeri (Depdagri), Progo nurdjaman. Menurut
Progo, penulis 42 judul buku itu telah melansir informasi yang tak akurat.
Data di IPDN, kata
Progo, hanya mencatat 29 praja yang meninggal dalam kuliah. Itu pun hanya tiga
korban akibat kekerasan. Sisanya akibat kecelakaan lalu lintas, sakit, dan jadi
korban tsunami. Sedangkan tentang perilaku asusila, Progo membantah.
Ancaman bagi Inu tidak
main-main. Selasa kemarin Tim Investigasi Depdagri memeriksa Inu dikampus IPDN,
Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat. Inu sempat menolak. Alasannya, jadwal
pemeriksaan bentrok dengan waktu mengajar.
Namun, penolakan ini disambut dengan keluarnya surat penonaktifan Inu
selama menjalani pemeriksaan. Sayang hingga berita ini ditulis, belum diperoleh
penjelasan soal hasil pemeriksaan itu.
Sebelumnya, “Vokalis”
kalahiran Payakumbuh, Sumatra Barat., 14 Juni 1952, itu sempat pula disidangkan
pihak rektorat. Setelah dua jam, Inu berhasil meyakinkan bahwa obrol omongan
dimedia massa semata-mata demi berakhirnya budaya kekerasan di IPDN. Untuk
sementara, Inu terbebas dari sanksi.
Namun, diluar ruang
siding, hukuman langsung dia rasakan. Kamis pekan lalu, misalnya, dosen mata
kuliah ilmu pemerintahan ini diusir koleganya, dosen senior, ketika hendak
mengajar. Perkuliahanpun bubar. Dua hari kemudian, tepatnya usai upacara
pemecatan terhadap tersangka pembunuh Cliff, Inu “Diserbu” praja perempuan yang
kecewa atas tudingan seputar seks bebas.
Pihak keluarga juga
kena getahnya. Indah Prasetiati, istri Inu, bahkan mengaku sudah terbiasa
mendapat cemoohan dan ancaman. “Boleh dibilang sudah imun,” kata Inda, maklum
saja, Inu yang suka “ngember” sudah berlangsung lama. Bahkan ketika praja Wahyu
Hidayt tewas pada 2003, suara Inu sangat lantang.
Kebiasaan bicara blak-blakan,
kata inu, tak lepas dari bidang yang ia geluti di awal karier sebagai pegawai
negeri sipil. Selepas dari Institut Ilmu Pemerintahan tahun 1986, ia bertugas
sebagai humas di APDN (sebelum dilebur kedalam STPN) Jayapura. Posisi ini
membuat Inu terbiasa berkomunikasi dengan dunia luar kampus.
Kebiasaan berhubungan
dengan media massa berlanjut ketikaia menjadi dosen STPDN di Jatinangor pada
1989. Lulusan master bidang ilmu pemerintahan dari Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta, tahun 1999 ini selalu gatal jika melihat ketidakberesan. Baginya
kepuasan diukur dari kejujuran, bukan kekayaan. Hingga kini, putra bungsu
Abdullah Syafi’i, Bupati Bengkalis, Riau, periode 1958-1960 itu hidup
sederhana. Tinggal dirumah Dinas, tanpa memiliki mobil dan sepeda motor.
Ditengah ancaman
sanksi, Inu masih tetap vocal. Dia tidak surut menyuarakan kebenaran sesuai
versinya. Selasa kemarin, ia melayangkan surat ke Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono. Inu menyampaikan bahwa dari 34 kasus kematian di IPDN, 17
diantaranya meninggal secara tidak wajar. “Ini untuk meluruskan pemberitaan
bahwa Saya hanya omong-kosong,” katanya. (sumber: www.gatra.com).
2.3 Proses dan sanksi pelanggaran HAM pada
peradilan internasional
Hingga saat ini PBB terus mengupayakan
penyelesaian “Rules of Procedure” atau hukum acara bagi berfungsinya Mahkamah
Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) yang status pembentukannya
baru disahkan melalui Konferensi Internasional di Roma, Italia pada Juni 1998.
Yurisdiksi berlaku atas kasus-kasus pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan
yang lainnya, genosida (pemusnahan ras), kejahatan perang dan agresi.
ICC berkedudukan di Den Haag (Belanda), tetapi
siding-sidangnya dapat diadakan di negara lain sesuai dengan kebutuhan.
Negara-negara anggota PBB tidak secara otomatis terikat oleh yuridiksi ICC.
Peradilan Internasional HAM lainnya dibentuk oleh Dewan Keamanan PBB berdasarkan
Bab VII piagam PBB. Peradilan-peradilan tersebut adalah sebagai berikut.
a. Mahkamah
Internasional untuk bekas Yugoslavia (International Criminal Tribunal for The
Former Yugoslavia) yang dibentuk tahun 1933 dan berkedudukan di Den Haag
(Belanda).
b. Mahkamah
Internasional untuk Rwanda (International Tribunal for Rwanda) yang dibentuk
tahun 1994 dan berkedudukan di Arusha (Tanzania) dan di Kigali (Rwanda).
Pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemimpin
sebuah negara sudah beberapa kali terjadi. Sebagai contoh adalah Pelanggaran
HAM yang terjadi di Uganda (salah satu negara di Afrika) pada masa pemerintahan
Idi Amin. Idi Amin menyebabkan terbunuhnya hamper 60.000 rakyat Uganda. Idi
Amin juga kerap menjatuhkan hukuman mati pada warga negaranya malalui cara “diadu
untuk saling membunuh”.
Idi Amin berhasil dikudeta dan dibuang. Ia
kemudian mendapat mendapat suaka politik bersama 4 istri dan 30 anak-anaknya.
Dari pemerintah Arab Saudi dengan perjanjian tidak boleh lagi berkiprah dalam
dunia politih dan kekuasaan.
Sayangnya, Idi Amin tidak pernah dituntut ke
pengadilan HAM Internasional meskipun telah melakukan pelanggaran HAM berat.
Hingga akhir hayatnya, Idi Amin tidak pernah lagi kembali ke Uganda. Bahkan,
ketika meninggal (tahun 2003), pemerintah dan rakyat Uganda menolak Idi Amin
dimakamkan di tanah airnya sendiri.
Pasti masih segar ingatan kita bagaimana rakyat
sipil Irak, terutama anak-anak dan wanita, menjadi korban kekejaman tentara
Amerika Serikat (AS) dalam peristiwa invansi AS dan Inggris terhadap Irak.
Ribuan warga sipil Irak yang tidak berdosa telah menjadi korban. Jatuhnya
banyak korban sipil Irak sesungguhnya merupakan pelanggaran atas kemanusiaan.
Namun, hingga saat ini George W.Brush Tidak juga diajukan ke Pengadilan
Internasional atau Mahkamah Internasional, Konvensi Jenewa 1949 tentang
perlindungan atas korban perang (Penduduk sipil dan tawanan perang).
Salah satu contoh pelanggaran HAM berat yang
telah diselesaikan oleh Mahkamah Internasional adalah kasus PBoznia-Serbia,
Biljana Plavsic, yang kemudian dihukum selama 13 tahun. Wanita mantan presiden
ini didakwa sebagai penyebab tewasnya ratusan jiwa etnis muslim Boznia pada
masa pemerintahannya, sehingga akhirnya dia dituntut ke pengadilan. (sumber
: www.kompas.com).
Israel Disiplinkan Pejabat Militernya
Israel gunakan bom fosfor saat perang 2008 lalu
(Foto: AFP)
TEL AVIV - Militer Israel mendisiplinkan dua
petinggi militer mereka. Kedua petinggi militer tersebut sebelumnya terbukti
menyetujui penggunaan fosfor putih saat melakukan serangan di Gaza akhir 2008
lalu.
Lewat Pengadilan Militer Israel, Komandan Divisi
Gazam Eyal Eisenberg dan Komandan Brigade, Ilan Malka dianggap telah mengancam
nyawa manusia dengan menembakan senjata yang menyebabkan kebakaran di sebuah
penampungan yang dimiliki oleh PBB.
Meski dimasukan dalam proses disiplin, namun
tidak jelas hukuman yang akan dijatuhkan bagi kedua petinggi tersebut.
Sementara hukuman ini merupakan jawaban dari penyelidikan PBB atas serangan
Israel ke wilayah Gaza pada 2008 lalu. Penyelidikan ini sendiri dipimpin oleh
Hakim Afrika Selatan Richard Goldstone. Demikian diberitakan Al Jazeera,
Senin (1/2/201).
Laporan penyelidikan yang dikeluarkan oleh
Goldstone sendiri berisikan kritikan pedas kepada militer Israel yang melakukan
serangan kepada warga Palestina di Gaza. Goldstone juga melaporkan aksi-aksi
yang dilakukan oleh Pejuang Hamas yang memegang kendala atas Gaza sejak
2007 lalu.
Sementara kelompok HAM internasional menuduh
militer Israel menggunakan bom fosfor yang dapat menyebabkan luka bakar,
terhadap warga sipil Palestina. Namun pihak militer Israel berdalih jika bom
serupa juga sering dipakai oleh negara-negara barat. Militer negara Yahudi
tersebut juga menyatakan, jika bom fosfor tersebut hanya dilancarkan ke arah
wilayah terpencil Gaza.
Berakhirnya serangan Israel yang juga dikenal
dengan Operasi Cast Lead, Pimpinan Militer Israel Gabi Ashkenazi memerintahkan,
untuk membentuk lima komite penyelidikan atas perang. Salah satu komite
tersebut bertugas menyelidiki penggunan bom fosfor dalam perang yang menewaskan
sekira 1.500 warga Palestina tersebut.
Hasilnya dua petinggi militer mereka kini terpaksa mempertanggungjawabkan perbuatan mereka, karena terbukti terlibat memerintahkan menggunakan bom fosfor.
Tetapi suara beragam yang menanggapi hasil penyelidikan ini tetap ada. Analis dari Al Jazeera, Jacky Rowland menekankan, jika Israel melakukan penyelidikan ini melalui internal mereka sendiri, tanpa melibatkan penyelidikan independen.
Sementara mengenai perang di akhir 2008 tersebut, Israel tidak menyentuh aspek-aspek pelanggaran lainnya kecuali penggunaan bom fosfor. Sedangkan analis politik dari harian Israel Haaretzm menyatakan, jika ini merupakan pertama kalinya Israel mengakui kesalahan mereka, meskipun harus ditekan oleh dunia internasional terlebih dulu. (sumber : Nugraha Fajar, www.okezone.com, Senin, 1 Februari 2010 - 17:26 wib).
Hasilnya dua petinggi militer mereka kini terpaksa mempertanggungjawabkan perbuatan mereka, karena terbukti terlibat memerintahkan menggunakan bom fosfor.
Tetapi suara beragam yang menanggapi hasil penyelidikan ini tetap ada. Analis dari Al Jazeera, Jacky Rowland menekankan, jika Israel melakukan penyelidikan ini melalui internal mereka sendiri, tanpa melibatkan penyelidikan independen.
Sementara mengenai perang di akhir 2008 tersebut, Israel tidak menyentuh aspek-aspek pelanggaran lainnya kecuali penggunaan bom fosfor. Sedangkan analis politik dari harian Israel Haaretzm menyatakan, jika ini merupakan pertama kalinya Israel mengakui kesalahan mereka, meskipun harus ditekan oleh dunia internasional terlebih dulu. (sumber : Nugraha Fajar, www.okezone.com, Senin, 1 Februari 2010 - 17:26 wib).
Partai Junta Bakal Menang
Pemilu di Myanmar (Foto: Reuters)
YANGON – Partai politik “kepanjangan tangan”junta
militer Myanmar kemarin diprediksi memenangkan pemilu yang dikecam
negara-negara Barat sebagai sebuah “sandiwara”belaka.
Partai Persatuan Solidaritas dan Pembangunan
(USDP) dapat dipastikan memenangkan pemilu yang digelar Minggu 7 November lalu.
Dukungan finansial dan kampanye yang besar serta suasana ketakutan yang
menyelubungi pemilu membuat partai kepanjangan tangan junta militer itu menang
mudah.
Di banyak tempat pemilihan terjadi persaingan
antara USDP dan Partai Persatuan Nasional (NUP), partai penerus diktator
terakhir Ne Win yang juga memiliki hubungan dekat dengan militer.
Media milik pemerintah kemarin menampilkan foto
Pemimpin Junta Militer Than Shwe dan pejabat tinggi lainnya memberikan
suara.
Selain itu, mereka menerbitkan berbagai foto dan
tulisan mengenai para diplomat dan wartawan yang mengawasi pemilu. Padahal,
para diplomat Uni Eropa yang menolak kunjungan resmi mengatakan kondisi di sana
sangat dibatasi dan wartawan asing tidak dibolehkan masuk ke Myanmar saat
pemilu.
Media-media yang menyuarakan kepentingan
pemerintah juga melaporkan bahwa “para warga memberikan suara pada pemilu
dengan bebas”.
Mereka menyebutkan, pemerintah akan mengumumkan
“para pemenang”di 57 wilayah pemilihan dengan 55 wilayah hanya diperebutkan
oleh 1 orang kandidat, yang lebih dari dua pertiganya berasal dari USDP yang
didirikan oleh menteri-menteri yang pensiun dari kemiliteran pada April lalu.
Pemilu yang digelar Minggu 7 November lalu juga
diwarnai kekerasan antara pemberontak dan pasukan pemerintah. Akibatnya,tiga
warga sipil tewas dan 11 orang lainnya terluka akibat tembakan senjata api yang
dilancarkan pemberontak etnik di kota Myawaddy di Negara Bagian Karen.
Konflik berdarah di Myanmar itu menjadi
peringatan bagi semua pihak karena perang sipil telah berlangsung di negara
tersebut sejak 1948.Menurut Kepala Distrik Kittisak Tomornsak, sekitar 7.000
orang telah melarikan diri dari Myanmar ke Thailand akibat konflik berdarah.
“Pertempuran telah usai,”katanya. Sedangkan
Gubernur Provinsi Tak Thailand yang berada di perbatasan dengan Myanmar Samart
Loyfah mengatakan, sedikitnya 10.000 warga Myanmar telah masuk ke perbatasan
setelah bentrokan tersebut.
Menurut Sekretaris Jenderal Persatuan Nasional
Karen (KNU) yang berbasis di Thailand,bentrok terjadi antara 300 anggota
Pasukan Budha Karen Demokratik (DKBA) dengan pasukan militer pada Minggu malam
7 November.
Menurut komandan lokal DKBA Na Kham Mwe, pasukan
pemerintah yang pertama kali menembak. Perdana Menteri Thailand Abhisit Vejjajiva
kemarin memperingatkan bahwa bentrokan di kawasan etnis minoritas Myanmar itu
bisa berlangsung hingga berbulan- bulan.
Dia mengatakan, pemerintahnya siap memberikan
bantuan kemanusiaan kepada orang-orang yang lari ke negaranya.
“Ada kemungkinan bentrokan itu akan berlangsung
hingga tiga bulan ke depan, terutama selama transisi dari pemerintahan sekarang
ke pemerintahan yang terpilih pada pemilu,”ujar Abhisit.
Di lain pihak, dunia internasional mengecam
pemilu Myanmar. Barat menyebut pemilu tersebut hanya sebagai ajang
“pembohongan” terhadap rakyat meski memberikan jatah kursi kepada golongan
prodemokrasi.
Tapi, ikon demokrasi Aung San Suu Kyi yang masih
menjalani tahanan rumah dan para pemimpin oposisi menyebutkan bahwa masih
sering terjadi intimidasi dan pelanggaran hukum di negara itu.
Presiden Amerika Serikat Barack Obama mengatakan,
pemilu seharusnya “bebas dan adil”.Kemudian, Menteri Luar Negeri AS Hillary
Clinton mengatakan bahwa Washington akan tetap menerapkan “sanksi berat” atas
pemerintah berkuasa selama junta menahan tahanan politik, melanggar hak asasi
manusia (HAM), dan menolak berdialog dengan pihak oposisi.
Menurut Hillary,proses pemilu kali mengalami
banyak kecacatan, menghalangi keterbukaan dan memberikan kesempatan bagi semua
pihak bahwa terjadi penekan terhadap dasar-dasar kebebasan. (sumber
: www.okezone.com, Selasa, 9 November 2010 - 09:32 wib).
2.4 Hal-hal yang berkaitan dengan
HAM beserta peraturan yang mengaturnya
a. Penentuan nasib sendiri
Penentuan
nasib sendiri dinyatakan dalam:
1. Deklarasi tentang pemberian kemerdekaan kepada
negara-negara dan bangsa-bangsa jajahan.
2. Resolusi Majelis Umum 1803 ( XVII ), kedaulatan
permanen atas sumber daya alam.
b. Pencegahan diskriminasi
Pencegahan
diskriminasi, dinyatakan dalam:
1.
Konvensi
internasional tentang penghapusan semua bentuk diskriminasi rasial.
2.
Konvensi
internasional mengenai penindasan dan penghukuman kejahatan apartheid.
3.
Konvensi
tentang penghapusan semua bentuk diskriminasi terhadap wanita.
4.
Konvensi
melawan diskriminasi dalam pendidikan.
c.
Administrasi
peradilan, penahanan, dan penganiayaan
Adapun
administrasi mengenai peradilan, penahanan, dan penganiayaan terdapat pada:
1.
Peraturan-peraturan
standar minimum bagi perlakuan terhadap narapidana.
2.
Konvensi
melawan penganiayaan dan perlakuan kejam yang lain.
3.
Konvensi
Eropa untuk pencegahan penganiayaan dan perlakuan tidak manusiawi atau hukuman
yang menghinakan.
4.
Konvensi
inter-Amerika untuk mencegah dan menghukum penganiayaan.
5.
Aturan-aturan
tingkah laku bagi petugas penegak hukum.
6.
Prinsip-prinsip
etika kedokteran yang relevan dengan peran personel kesehatan, terutama para
dokter dalam perlindungan narapidana dan tahanan terhadap penganiayaan dan
perlakuan yang lain, tidak manusiawi atau hukuman yang menghinakan.
7.
Kumpulan
prinsip-prinsip untuk perlindungan semua orang yang berada dibawah bentuk
penahanan apapun atau pemenjaraan.
d. Kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan yang
termasuk genosida
Kejahatan
perang dan kejahatan kemanusiaan yang termasuk genosida, terdapat dalam:
1.
Konvensi
tentang pencegahan dan penghukuman kejahatan genosida.
2.
Konvensi
tentang tidak dapat ditetapkannya pembatasan statute pada kejahatan perang dan
kejahatan manusia.
e.
Perbudakan
dan lembaga yang melakukan praktik-praktik serupa
Perbudakan
dan lembaga yang melakukan praktik-praktik yang serupa, terdapat dalam:
1.
Konvensi
perbudakan.
2.
Konvensi
pelengkap tentang penghapusan perbudakan, perdagangan budak, dan lembaga
praktik serupa dengan perbudakan.
3.
Konvensi
kerja paksa.
4.
Konvensi
penghapusan kerja pakasa.
5.
Konvensi
untuk menumpas perdagangan orang dan eksploitasi pelacuran orang lain.
f.
Kewarganegaraan,
ketiadaan kewarganegaraan, suaka, dan pengungsi
Kewarganegaraan,
ketiadaan kewarganegaraan, suaka, dan pengungsi, diatur dalam:
1.
Konvensi
tentang kewarganegaraan wanita kawin.
2.
Konvensi
tantang pengurangan ketiadaan kewarganegaraan.
3.
Konvensi
mengenai status orang yag tidak berkewarganegaraan.
4.
Konvensi
mengenai status pengungsi.
5.
Protokol
mengenai status pengungsi.
6.
Deklarasi
tentang suaka territorial.
g. Perkawinan dan keluarga serta anak-anak dan
remaja
Perkawinan
dan keluarga serta anak-anak dan remaja, diatur dalam:
1.
Konvensi
mengenai persetujuan perkawinan, usia minimum perkawinan dan pecatatan
perkawinan.
2.
Konvensi
tentang hak-hak anak.
3.
Konvensi
Eropa tentang status hukum anak yang lahir diluar ikatan perkawinan.
h. Hak untuk bekerja dan berhimpun
Mengenai hak untuk bekerja dan hak untuk
berkumpul, diatur dalam:
1. Konvensi tentang kebebasan berhimpun dan
perlindungan hak untuk berorganisasi.
2.
Konvensi
tentang hak berorganisasi dan penawaran kolektif.
3.
Konvensi
tentang perwakilan pekerja.
4.
Konvensi
kebijakan pekerja.
5.
Konvensi
tentang penggajian yang sama.
6.
Konvensi
Eropa tentang status hokum pekerja pendatang.
i.
Kesejahteraan
sosial, kemajuan, dan pembangunan
Mengenai
kesejahteraan sosial, kemajuan, dan pembangunan, diatur dalam:
1.
Deklarasi
Universal tentang pemberantasan kelaparan dan kekurangan gizi.
2.
Deklarasi
tentang hak atas pembangunan.
j.
Hak-hak
politik dan sipil wanita
Mengenai
hak-hak politik dan sipil wanita, terdapat dalam:
1.
Konvensi
tentang hak-hak politik wanita.
2.
Konvensi
Inter-Amerika tentang pemberian hak-hak politik kepada wanita.
3.
Konvensi
Inter-Amerika tentang pemberian hak-hak sipil kepada wanita.
k.
Kebebasan
informasi dan perlindungan data
Mengenai
kebebasan memperoleh informasi dan perlindungan terhadap data, terdapat dalam:
1.
Konvensi
tentang hak koreksi internasional.
2.
Konvensi
untuk perlindungan individu mengenai pemrosesan otomatis data pribadi.
l.
Penduduk
asli dan kelompok minoritas
1. Konvensi tentang penduduk asli dan penduduk suku
di negara-negara merdeka.
2. Rancangan deklarasi tentang hak-hak orang-orang
yang termasuk kelompok minoritas bangsa atau etnis, agama, dan bahasa.
2.5
Macam-macam instrument HAM internasional
Instrumen Hak Asasi
Manusia Internasional, meliputi:
a. Piagam PBB.
Piagam PBB adalah konstitusi PBB. Ia ditanda tangani di San Francisco pada 26 Juni 1945 oleh kelima puluh anggota asli PBB. Piagam ini
mulai berlaku pada 24
Oktober 1945 setelah diratifikasi oleh lima anggota pendirinya - Republik Cina, Perancis, Uni
Soviet, Britania Raya, Amerika Serikat - dan mayoritas penanda tangan lainnya.
Sebagai sebuah Piagam ia adalah sebuah perjanjian
konstituen, dan seluruh penanda tangan terikat dengan isinya. Selain itu,
Piagam tersebut juga secara eksplisit menyatakan bahwa Piagam PBB mempunyai
kuasa melebihi seluruh perjanjian lainnya. Ia diratifikasi oleh Amerika Serikat pada 8 Agustus 1945, yang membuatnya menjadi negara pertama yang
bergabung dengan PBB.
b. Deklarasi universal hak-hak asasi manusia.
Aksi Demo, Kenapa Mesti ke Istana?
Pada 12 Desember 2008,
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merasa terusik oleh suara keras yang keluar
dari ratusan demonstran di depan Istana Merdeka. Padahal, saat itu
Presiden hendak menggelar rapat di kantornya. Rapat kabinet terbatas
dijadwalkan membahas masalah infrastruktur di tengah krisis keuangan yang
melanda dunia. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan sebelum kita mulai
rapat, ada unjuk rasa. kita tidak bisa bekerja, apakah loud speaker dengan
kekuatan seperti itu dibenarkan. Ini satu-satunya negara di dunia yang
seolah-seolah apa pun boleh.
Sejak era reformasi
dibuka, komplek Istana Presiden seolah telah kehilangan kewibawaan. Atas nama
kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum para demonstran seolah boleh
melakukan apa saja di lingkungan ring satu itu. Orang bebas menggelar mimbar
bebas, membentang spanduk dan poster dengan tulisan yang kadang tidak sopan
secara etika ketimuran, meneriakkan yel-yel dan segala hal yang oleh para
pelakunya diyakini sebagai bentuk ekspresi kebebasan demokrasi.
Benar bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh Undang Undang Dasar 1945 dan Pasal 29 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia; Benar pula bahwa kemerdekaan setiap warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum merupakan perwujudan demokrasi dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Tetapi rupanya mereka lupa, bahwa kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum tersebut, ada batasan-batasan yang mesti ditaati. Undang-undang No. 9 Tahun 1998 pasal 9 ayat (2) secara tegas melarang melakukan aksi unjuk rasa (a) di lingkungan istana kepresidenan, tempat ibadah, instalasi militer, rumah sakit, pelabuhan udara atau laut, stasiun kereta api. terminal angkutan darat, dan obyek-obyek vital nasional; dan (b) pada hari besar nasional. Pada bagian Penjelasan UU tersebut sekali lagi ditegaskan bahwa Yang dimaksud dengan pengecualian "di lingkungan istana kepresidenan" adalah istana presiden dan istana wakil presiden dengan radius 100 meter dari pagar luar.
Benar bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh Undang Undang Dasar 1945 dan Pasal 29 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia; Benar pula bahwa kemerdekaan setiap warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum merupakan perwujudan demokrasi dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Tetapi rupanya mereka lupa, bahwa kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum tersebut, ada batasan-batasan yang mesti ditaati. Undang-undang No. 9 Tahun 1998 pasal 9 ayat (2) secara tegas melarang melakukan aksi unjuk rasa (a) di lingkungan istana kepresidenan, tempat ibadah, instalasi militer, rumah sakit, pelabuhan udara atau laut, stasiun kereta api. terminal angkutan darat, dan obyek-obyek vital nasional; dan (b) pada hari besar nasional. Pada bagian Penjelasan UU tersebut sekali lagi ditegaskan bahwa Yang dimaksud dengan pengecualian "di lingkungan istana kepresidenan" adalah istana presiden dan istana wakil presiden dengan radius 100 meter dari pagar luar.
Mudah-mudahan semua
pihak yang selama ini aktif "bertamu" ke Istana dengan berbagai
macam aspirasi dapat menahan diri. Masih banyak tempat umum lainnya yang bisa
didatangi untuk berdemontrasi. Selain rawan dari sisi keamanan dan kenyamanan
bagi Kepala Negara, aksi-aksi demo yang selama ini begitu sering dilakukan di
sekitar komplek Istana bisa membuat tempat itu seolah telah kehilangan rasa
hormat dari rakyatnya sendiri. Aparat keamanan tentu lebih paham bagaimana
harus bertindak bijak di lapangan. Kalau sampai Presiden harus turun tangan
sendiri menertibkan para pengunjuk rasa, lantas untuk apa kalian digaji oleh
negara? (sumber : Setiawan Gerry, www.okezone.com, Minggu, 14 Desember 2008 13:08 wib).
c. Declaration Universal of Human Right
Declaration Universal
of Human Right adalah semua hak-hak setelah Perang Dunia II (Sesudah Hitler
memusnahkan berjuta-juta manusia) yang dijadikan dasar pemikiran untuk
melahirkan rumusan HAM yang bersifat universal. Atau bisa juga Declaration
Universal of Human Right adalah pelaksaan HAM harus sesuai dengan latar
belakang.
d. Kovenan hak sipil dan politik ( ICCPR ).
e. Kovenan hak ekonomi, socsal, dan budaya ( ICSECR
).
f. Protokol opsional kedua perjanjian internasional
tentang hak-hak sipil dan politik, yang ditujukan pada penghapusan hukuman
mati.
g. Kovenan internasional tentang hak-hak ekonomi,
sosial dan budaya.
h. Proklamasi Teheran.
Konperensi Internasional tentang Hak Asasi
Manusia di Teheran 1968 (Tahun Hak Asasi Manusia Internasional) menyatakan
bahwa prinsip-prinsip kemanusiaan harus dikedepankan dalam masa pertikaian
bersenjata.
Pada tahun yang sama, Majelis Umum PBB, dalam
resolusi 2444 (XXIII) mendukung rekomendasi dari Konperensi agar Sekretaris
Jenderal PBB, setelah melakukan konsultasi dengan Komite Palang Merah
Internasional, mengajak seluruh Negara Anggota PBB memberi perhatian pada
aturan hukum humaniter internasional yang berlaku, dan memerintahkan mereka
menunda penetapan aturan baru, untuk memberi jaminan bahwa masyarakat sipil dan
pasukan perang mendapat perlindungan sesuai dengan “prinsip-prinsip hukum
bangsa-bangsa yang berasal dari kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam
masyarakat sipil, dari hukum-hukum kemanusiaan dan dari keyakinan yang hidup
dalam masyarakat.”
Peraturan baru memang dibutuhkan, demikian
disepakati dalam Konperensi, untuk memberikan perlindungan yang lebih baik
terhadap masyarakat sipil, tawanan perang dan pasukan perang, sementara
praktek-praktek militer dan metode pertempuran tertentu harus dianggap sebagai
jahat dan tidak manusiawi.
Resolusi Majelis Umum 2444 juga menyetujui
resolusi dari Konperensi Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional yang
Ke-12 (Wina, 1965) yang mencantumkan tiga prinsip dasar tentang kegiatan dalam
pertikaian bersenjata:
Hak dari pihak yang bertikai untuk menentukan
cara melukai lawannya bukanlah tanpa pembatasan;
Dilarang melakukan penyerangan terhadap permukiman
sipil;
Telah tercipta kerja sama erat dalam hubungan
antara PBB dan Komite Palang Merah Internasional sehingga PBB menganugerahi
status pengamat sebagai pengakuan formal pada Komite Palang Merah Internasional
pada Oktober 1990. Dengan menetapkan resolusi 2444, Majelis Umum menyatakan
tidak dapat menerima gagasan untuk memerangi seluruh penduduk dengan tujuan
memaksa lawan menyerah. Resolusi tersebut juga memberi tekanan pada percepatan
gerakan dari tiga hukum humaniter internasional saat ini – Hukum Jenewa, Hukum
Den Haag serta PBB – untuk menjadi satu arus utama. Resolusi itu mengakui
adanya interaksi antara peraturan untuk melindungi korban perang, untuk
menegakkan aturan-aturan pertempuran, dan untuk melindungi hak asasi manusia
dalam pertikaian bersenjata.
Harus selalu dibedakan antara orang yang ikut
serta dalam pertempuran dengan penduduk sipil sehingga sebanyak mungkin
penduduk sipil tidak terlibat.
(sumber : www.wordpress.com).
i.
Piagam
tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban ekonomi negara, 3281.
j.
Resolusi
1503 (XLVIII) prosedur untuk menangani surat pengaduan tentang pelanggaran
hak-hak asasi manusia.
Resolusi
1503 (XLVIII):Prosedur untuk Menangani Surat Pengaduan tentang Pelanggaran
Hak-hak Asasi Manusia
Dewan Ekonomi dan Sosialy
Mencatat resolusi-resolusi 7 (XXVI) dan 17 (XXV) Komisi
Hak-hak Asasi Manusia dan
resolusi 2 (XXI) Sub-Komisi Pencegahan Diskriminasi dan
Perlindungan Kelompok
Minoritas
1. Menguasakan Sub-Komisi
Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan Kelompok
Minoritas untuk menunjuk suatu kelompok kerja yang terdiri
dari tidak lebih dari
lima orang anggotanya, dengan memperhatikan pembagian
geografis, untuk
bersidang sekali dalam satu tahun dalam pertemuan-pertemuan
tersendiri untuk
periode yang tidak melebihi sepuluh hari segera sebelum
persidangan Sub-Komisi
untuk mempertimbangkan semua amanat/surat pengaduan, termasuk
semua jawaban
pemerintah mengenai hal itu, yang diterima oleh Sekretaris
Jenderal menurut resolusi
Dewan 728F (XXVIII) 30 Juli 1959 dengan tujuan agar
amanat/surat pengaduan
tersebut mendapat perhatian Sub-Komisi bersama-sama dengan
semua jawaban
pemerintah, kalaupun ada, yang tampak menunjukkan pola yang
tetap mengenai
semua pelanggaran yang besar dan yang dengan terpercaya sudah
teruji terhadap
segala hak asasi dan kebebasan dasar yang termasuk dalam
ketentuan-ketentuan yang
harus diambil Sub-Komisi,
2. Memutuskan bahwa
Sub-Komisi pada Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan
Kelompok Minoritas, sebagai tingkat pertama dalam pelaksanaan
resolusi ini pada
persidangan yang kedua puluh tiga, harus memikirkan semua
prosedur yang tepat
untuk menangani masalah dapat diterimanya amanat/surat
pengaduan yang diterima
oleh Sekretaris Jenderal, menurut resolusi Dewan 728F (XXVIII)
dan sesuai dengan
resolusi Dewan 1235 (XLII) 6 Juni 1967;
3. Meminta Sekretaris
Jenderal untuk mempersiapkan suatu dokumen tentang masalah
dapat diterimanya semua amanat/surat pengaduan untuk
dipertimbangkan oleh Sub-
Komisi pada persidangannya yang kedua puluh tiga;
4. Lebihjauh
nieminta Sekretaris Jenderal:
(a) Memberikan kepada para anggota Sub-Komisi setiap bulan
daftar
surat/pengaduan yang dipersiapkan olehnya sesuai dengan
resolusi Dewan 728F
(XXVIII) dan deskripsi singkat tentang surat pengaduan
termaksud bersamasama
dengan setiap teks jawaban apa pun yang diterima dari para
Pemerintah;
(b) Menyediakan bagi para anggota kelompok kerja teks asli
tentang amanat/surat
pengaduan tersebut yang terdaftar pada pertemuan mereka
sebagaimana yang
mereka minta, dengan memperhatikan semestinya ketentuan-ketentuan
ayat 2
(b) resolusi Dewan 728F (XXVIII), mengenai pembocoran
identitas penulis
surat pengaduan/amanat;
(c) Mengedarkan kepada para anggota Sub-Komisi, dalam berbagai
bahasa kerja,
semua teks asli tentang surat pengaduan termaksud sebagaimana
yang
disampaikan kepada Sub-Komisi oleh kelompok kerja;
5. Meminta Sub-Komisi
Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan Kelompok
Minoritas untuk mempertimbangkan dalam pertemuan-pertemuan
tersendiri, sesuai
dengan ketentuan ayat 1 di atas, amanat/surat pengaduan yang
diajukan kepadanya
sesuai dengan keputusan mayoritas para anggota kelompok
kerjadan setiapjawaban
Pemerintah yang berkaitan dan informasi relevan lainnya,
dengan tujuan untuk
menentukan apakah mengajukan kepada Komisi Hak-hak Asasi
Manusia situasisituasi
khusus yang tampak menunjukkan pola yang tetap dari semua
pelanggaran
yang besar dan yang dengan terpercaya sudah teruji terhadap
hak-hak asasi manusia
yang meminta pertimbangan Komisi;
6. Meminta Komisi
Kak-hak Asasi Manusia sesudah Komisi meneliti setiap situasi yang
disampaikan kepadanya oleh Sub-Komisi untuk menentukan:
(a) Apakah hal itu meminta diadakannya studi yang teliti oleh
Komisi dan laporan
serta rekomendasi-rekomendasi mengenai hal itu kepada Dewan
sesuai dengan
ketentuan-ketentuan ayat 3 resolusi Dewan 1235 (XLII);
(b) Apakah hal itu mungkin merupakan suatu subjek penyelidikan
oleh suatu
komite Ad Hoc yang ditunjuk oleh Komisi yang akan dilakukan
hanya dengan
persetujuan tegas Negara yang bersangkutan dan akan dilakukan
dalam kerja
sama yang terus-menerus dengan Negara tersebut dan berdasarkan
syarat-syarat
yang ditentukan oleh persetujuan dengannya. Dalam setiap
peristiwa
penyelidikan tersebut boleh dilakukan hanya kalau:
(i) Semua sarana yang tersedia pada tingkat nasional telah
diambil dan telah
digunakan secara maksimum;
(ii) Situasinya tidak berkaitan dengan masalah yang sedang
ditangani menurut
prosedur-prosedur lain yang ditentukan dalam semua instrumen
pokok
ataupun Konvensi yang dikehendaki oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa dan
semua instansi khusus, atau dalam Konvensi regional, atau
Negara yang
bersangkutan mengharapkan untuk mengajukan pada
prosedur-prosedur lain
sesuai dengan semua persetujuan internasional umum atau khusus
yang
merupakan negara peserta;
7. Memutuskan bahwa
apabila Komisi Hak-hak Asasi Manusia menunjuk suatu komite
Ad Hoc untuk melaksanakan suatu penyelidikan dengan
persetujuan Negara yang
bersangkutan:
(a) Komposisi komite harus ditentukan oleh Komisi. Para
anggota komite harus
orang-orang independen yang kemampuan dan kejujurannya tidak
dipertanyakan lagi. Penunjukan mereka harus tunduk pada
persetujuan
Pemerintah yang bersangkutan;
(b) Komite harus menyusun peraturannya sendiri. Komite tunduk
pada peraturan
kuorum. Komite mempunyai kekuasaan untuk menerima amanat/surat
pengaduan dan jika perlu, mendengarkan para saksi.
Penyelidikan dilakukan
dalam kerja sama dengan Pemerintah yang bersangkutan;
(c) Peraturan Komite harus rahasia, semua persidangan
dilakukan dalam pertemuan
tertutup, dan semua amanat/surat pengaduannya tidak
dipublikasikan dengan
cara apa pun;
(d) Komite harus bekerja keras untuk melakukan
penyelesaian-penyelesaian
bersahabat sebelum, selama dan bahkan sesudah penyelidikan;
(e) Komite harus melaporkan kepada Komisi Hak-hak Asasi
Manusia mengenai
semua pengamatan dan saran tersebut jika mungkin dianggap
tepat;
8. Memutuskan bahwa
semua tindakan yang digambarkan dalam pelaksanaan resolusi
ini oleh Sub-Komisi Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan
Kelompok Minoritas
atau Komisi Hak-hak Asasi Manusia harus tetap rahasia sampai
suatu waktu jika
Komite mungkin memutuskan untuk membuat rekomendasi kepada
Dewan Ekonomi
dan Sosial;
9. Memutuskan untuk
memberikan kekuasaan kepada Sekretaris Jenderal untuk
menyediakan semua fasilitas yang mungkin diperlukan untuk melaksanakan
resolusi
ini, dengan mempekerjakan staf yang ada dari Divisi Hak-hak
Asasi Manusia pada
Sekretariat Perserikatan Bangsa-Bangsa;
10. Memutuskan bahwa
peraturan yang dikemukakan dalam resolusi ini untuk menangani
amanat/surat pengaduan yang berkaitan dengan semua pelanggaran
hak-hak asasi
manusia dan kebebasan dasar harus ditinjau kembali jikalau
setiap organ baru apa pun
yang berhak menangani amanat/surat pengaduan termaksud harus
dibentuk dalam
Perserikatan Bangsa-Bangsa atau dengan persetujuan internasional.(sumber
: google.com).
k. Resolusi 1235 (XLII) pelanggaran hak-hak asasi
manusia dan kebebasan dasar, termasuk kebijakan-kebijakan deskriminasi rasial
dan pemisahan rasial dan apartheid.
l.
Piagam
Afrika tentang hak-hak asasi manusia dan hak-hak rekyat.
m. Deklarasi Amerika tentang hak-hak dan
kewajiban-kewajiban manusia.
n. Konvensi Amerika tentang hak-hak asasi manusia.
o. Konvensi bagi perlindungan hak-hak asasi manusia
dan kebebasan dasar.
p. Piagam sosial Eropa.
BAB
III
PENUTUP
5.1 Kritik dan Saran
Bagi para pembaca dan rekan-rekan
yang lainnya, jika ingin menambah wawasan dan ingin mengetahui lebih jauh, maka
penulis mengharapkan dengan rendah hati agar lebih membaca buku-buku
ilmiah dan buku-buku lainnya yang berkaitan dengan judul “INSTRUMEN HUKUM HAM INTERNASIONAL”
Kritik
dan saran yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi perbaikan dan kesempurnaan
Makalah kami.Jadikanlah makalah ini sebagai sarana yang dapat mendorong para
mahasiswa/mahasiswi berfikir aktif dan kreatif.
5.2 Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
Sumber – sumber terkait:
Buku
paket Pendidikan Kewarganegaraan halaman 73 – 77. Instrumen Hukum dan Peradilan
Internasional HAM
www.pengertianHAMinternasional.
kewarganegaraan.wordpress.com
www.
kasus-kasusHAMinternasional. kewarganegaraan.wordpress.com
LAMPIRAN
- LAMPIRAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar